Facebook

header ads

Skripsi Hukum Bisnis Tentang CSR (Latar Belakang)



TINJAUAN NORMATIF PENERAPAN SANKSI KEPADA PERUSAHAAN
 YANG TIDAK MENJALANKAN TANGGUNG JAWAB  SOSIAL
 PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)

A.  Latar Belakang Masalah
Perkembangan aktivitas perusahaan memiliki kontribusipositif maupun negatif. Tersedianya lapangan kerja, dihasilkannya produk barang dan jasa, serta adanya insentif pajak bagi pendapatan negara merupakan kontribusi yang dirasakan besar manfaatnya. Namun di satu sisi, eksploitasi sumber daya alam (SDA)secara berlebihan, baik perusakan maupun pencemaran lingkungan telah mematikan sumber pencaharian masyarakat, insentif pajak yang diberikan perusahaan tidak serta merta dapat langsung dirasakan manfaatnya, diperparah dengan kurang ditanggapinya berbagai tuntutan masyarakat dalam permasalahan lingkungan,sehingga atas dasar permasalahan tersebut penting kiranya memunculkan suatu konsep tentang tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang dikenal denganCorporate Sosial Responsibility (CSR).
Legislatif melalui undang-undang nomor 40 tahun 2007mewajibkan perusahaan pengelola sumber daya alam (SDA) dan atau yang berkaitan dengan SDA untuk melaksanakan tanggung jawab sosial lingkungan (CSR).[1] Pencantuman tanggung jawab sosial dan lingkungan ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan terbatas itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan terbatas yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.[2]
Lahirnya peraturan ini memunculkan kekhawatirann dan reaksi keras dikalangan pengusaha, hal ini terbukti dengan diajukannya permohonan pengujian materil terhadap ketentuan pasal 74 dan penjelasan pasal 74 undang undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UUPT)[3]oleh para pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi[4] Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (Tim Advokasi TJSL).
Reaksi tersebut dapat dimaklumi, karena CSR berangkat dari konsep kepedulian(philantropy) yang melampaui kewajiban(beyond) yang telah diatur oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, diseluruh dunia, baru Indonesia yang mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan melaksanakan CSR.[5] Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Penolakan ini memberikan angin segar terhadap kepastian hukum bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tetaplah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan, sehingga apabila perusahaan tidak melaksanakannya maka wajib dikenakan sanksi seperti telah diwajibkan dalam UUPT, sebagimana Pasal 74 UUPT yang berbunyi:[6]
1)   Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2)   Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3)   Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Oleh karena ketentuan Pasal 74 UUPT ini membutuhkan aturan pelaksana sebagaimana bunyi ayat (4) diatas, maka kemudian pada tanggal 4 april tahun 2012 disahkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas (PP TJSL PT).
Berdasarkan PP TJSL PT ini, Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh direksi berdasarkan rencana kerja[7] tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan  dewan komisaris atau rapat umum pemegang saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan.[8] kemudian pendanaan TJSL PT pengeluarannya dapat dianggarkan sebagai biaya perseroan.[9] dengan demikian pengeluaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurangan beban pajak.
Antara UUPT maupun PP TJSL PT, keduanya menyebutkan bahwa ada dua jenis perseroan yang diberikan kewajiban untuk melaksanakan TJSL PT, yaitu perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam dan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam.
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup.[10] Namun, penjelasan tersebut masihlah bersifat abstrak sebab tidak disebutkan secara jelas mengenai karakteristik ataupun kategori perseroan apa saja yang termasuk  dari dua jenis perseroan yang dimaksud.
Kemudian, dengan disahkannya PP TJSL PT sebagai peraturan pelaksana, sejatinya hanya sebatas menjelaskan bagaimana pelaksanaan TJSL PT dan belum dapat menjawab permasalahan secara konkrit. Selain tidak ada pengaturan karakteristik perseroan seperti apa yang dikategorikan berkaitan dengan sumber daya alam, ternyata terdapat ketidakjelasan terkait ketentuan penerapan sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan TJSL, karena sebenarnya ketentuan penerapan sanksi yang diatur dalam Pasal 7 PP TJSL PT maupun Pasal 74 ayat (3) UUPT semua dilimpahkan kepada peraturan perundang-undangan terkait. Hal ini yang masih perlu ditinjau kembali bahwa apakah benar peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana yang dimaksud telah dapat dan siap untuk menjawab permasalahan ketentuan penerapan sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan TJSL.
Di dalam ilmu hukum, sanksi bukanlah sesuatu yang esensial. Sanksi merupakan elemen tambahan. Unsur esensial di dalam hukum adalah bahwa aturan tersebut dapat diterima oleh masyarakat sehingga aturan tersebut mempunyai sifat mengikat.[11] Benar memang, dengan diterimanya aturan hukum, maka dengan sendirinya hukum itu akan ditaati. Namun, yang harus diingat bahwa kenyataan diterima atau tidaknya sebuah aturan hukum tergantung pada kesadaran hukum yang dimiliki oleh para subjek hukum (person dan rechtperson). Lantas apakah kita harus menunggu sampai para subjek hukum itu sadar.
Program penilaian peringkat perusahaan (PROPER) yang dilaksanakan olehKementerian Negara Lingkungan Hidup, menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab sosial lingkungan. Dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya (capitalmaintenance). Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat.[12] Hal inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk bertindak tegas terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Permasalahan kesejahteraan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, namun juga merupakan tanggung jawab bagi seluruh lapisan masyarakat, baik itu masyarakat dalam lingkup dunia usaha, organisasi sosial, lembaga swadaya, ataupun para akademisi dalam bidangnya.
Oleh karena itu, untuk menyatukannya diperlukan sebuah wadah yang secara terstruktur dan berkelanjutan agar dapat mempermudah sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Pandangan inilah yang kemudian melatarbelakangi Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usahadalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial (Permensos Forum CSR) yang diundangkan pada tanggal 17 juli 2012 untuk mulai memprakarsai terbentuknya forum CSR, yang dalam peraturan ini disebut sebagai “Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha”.
Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha itu sendiri  adalah suatu lembaga/wahana yang terdiri dari unsur masyarakat, dunia usaha, dan perguruan tinggi dan di fasilitasi Pemerintah yang bertujuan mengoptimalkan implementasi peran dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.[13] Artinya bahwa ditahun 2012 pemerintah sudah mulai memiliki konsistensi dan keseriusan dalam merespon permasalahan CSR, yaitu  menemukan formulasi secara teknis pelaksanaan CSR dengan melembagakannya dalam sebuah forum. Berdasarkan peraturan tersebut forum ini sendiri berkedudukan di Jakarta dan Provinsi di seluruh Indonesia.
Pemerintah Daerah melalui Permensos forum CSR, mulai membentuk forum-forum CSR yang sama, salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Provinsi Riau (Perda CSR).
Perda ini mengatur tentang penerapan CSR didaerah dan juga merekomendasikan kepada kepala daerah dalam hal ini Gubernur untuk membentuk forum CSR di daerah, kemudian Gubernur Riau melaluiKeputusan Gubernur Riau Nomor: Kpts. 908/XI/2013 Tentang Pembentukan Forum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) di Provinsi Riau yang kemudian diganti dengan Keputusan Gubernur Riau Terbaru Nomor: 142 Tahun 2015 tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan di Provinsi Riauuntuk membentuk forum CSR di tingkat Provinsi, namun hingga sampai sekarang forum tersebut belum dapat terealisasi pelaksanaannya.[14]
Pemerintah Kabupaten Siak mendata dari 164 perusahaan yang ada didalam Forum CSR baru 64 perusahaan saja yang sudah aktif melaksanakan CSR.[15]Anggota DPRD Provinsi Riau Dapil Rokan Hilir, Karmila Sari menyampaikan bahwa selama ini pemerintah tidak memiliki data lengkap pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Provinsi Riau.[16]Tidak adanya data tersebut menyebabkan tidak berjalannya pengawasan oleh pemerintah,hal inilah  yang juga menjadi hambatan pemerintah dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Indonesia adalah bangsa yang besar akan potensi sumber daya alam (SDA). Namun besarnya potensi ini bukanlah alasan bagi kita untuk terus mengandalkan SDA sebagai sumber penghidupan bangsa ini. Sebab tidak akan ada jaminan 10-50 tahun yang akan datang SDA ini akan terus ada, ia bisa hilang, habis dan bahkan rusak oleh eksploitasi manusia maupun korporasi. Sebelum kekayaan alam ini benar-benar habis, bangsa ini harus segera mengkonversikannya dalam bentuk yang lain yaitu sumber daya manusia yang potensial yang kokoh dalam bidang agama, iptek dan perekonomian.
Dubai, di tahun 1985, 50% Pendapatannya tergantung dari sektor migas, namun 50% sektor migas itu hanya memiliki cadangan 4 miliar barel, sadar akan keterbatasan sumber daya alam yang akan habis, Dubai lalu meningkatkan pembangunan ke sektor non migas melalui pembangunan infrastruktur, telekomunikasi, jasa pariwisata, serta bisnis properti, dan terbukti di tahun 2003 Sektor migas Dubai hanya menyumbang 7%pendapatan negara, namun kini sektor non migas Dubai telah mampu menyumbang 93 % pendapatan negara.[17]
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan besar adalah bahwa apakah perusahaan-perusahaan yang menjalankan usahanya dibidang sumber daya alam atau yang berkaitan dengan sumber daya alam, telah berkontribusi memikirkan nasib bangsa ini kedepannya, hal inilah yang tentunya sangat dibutuhkan peran tegas pemerintah sebagai pemegang kedaulatan perekonomiandalam memberikan kemajuan bagi bangsa Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan penerapan sanksi kepada perusahaan yang tidak menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan dengan judul: “Tinjauan Normatif Penerapan Sanksi Bagi Perusahaan Yang Tidak Menjalankan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)”.



[1]  Firdaus, “Corporate Social Responsibility Dalam Tafsir konstitusi”, Artikel Pada Jurnal Konstitusi, BKK Fakultas Hukum Universitas Riau Kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol. I, No. 1, November 2012, hlm. 58.
[2]Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas (Berdasarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007),  Jakarta, Permata Aksara, 2013, hlm. 16.
[3]Pada awalnya Perseroan Terbatas (PT) atau Naamlooze Vennootschap diatur dalam Pasal 36-56 Wetboek Van Koophandle atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Pasal 613 Ayat (3) Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tentang Saham Tunjuk, mengingat perkembangan praktek usaha PT sangat cepat dan peraturan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan zaman maka kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[4]Para Pemohon yang tergabung didalam Tim Advokasi  ini terdiri dari: Muhammad Sulaiman Hidayat, Ketua Umum Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN); (2) Erwin Aska, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI); (3) Fahrina Fahmi Idris, Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusahan Indonesia (IWAPI); (4) PT. Lili Panma, yang diwakili oleh Hariyadi B Sukamdani selaku Presiden Direktur; (5) PT. Apac Centra Centertex, Tbk, yang diwakili oleh Benny Soetrisno Selaku Presiden Direktur; (6) PT. Kreasi Tiga Pilar, yang diwakili oleh Febry Latief selaku Presiden Direktur (Direktur Utama) dalam putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 53/PUU-VI/2008.
[5]Totok Mardikanto, Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Korporasi), Bandung, Alfabeta, 2014, hlm. 201.
[6]Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[7]Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 47 Tahun 2012.  “Rencana Kerja memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan”
[8]Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor  47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
[9]Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor  47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
[10]Lihat Penjelasan Pasal 3 ayat (1)  Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas

[11]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 9.
[12]Lestari.Wuryanti, Tinjauan Tentang Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Perusahaan, Jurnal Riset Akuntansi dan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Malahayati, Vol. 2, No. 2, Desember 2013, hlm. 74.
[13]Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia UsahaDalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

[14]Wawancara dengan Bapak Catur Hariyadi, S.E, Kasubbag Umum Bappeda Provinsi Riau, Hari Rabu, Tanggal 24 Februari, 2016, Bertempat di Kantor Bappeda Provinsi Riau.
[16]Riau Pos Hari Sabtu Tanggal 16 April 2016,  hlm. 28.

Post a Comment

0 Comments