YANG
TIDAK MENJALANKAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan
aktivitas perusahaan memiliki kontribusipositif maupun negatif. Tersedianya
lapangan kerja, dihasilkannya produk barang dan jasa, serta adanya insentif
pajak bagi pendapatan negara merupakan kontribusi yang dirasakan besar
manfaatnya. Namun di satu sisi, eksploitasi sumber daya alam (SDA)secara
berlebihan, baik perusakan maupun pencemaran lingkungan telah mematikan sumber
pencaharian masyarakat, insentif pajak yang diberikan perusahaan tidak serta
merta dapat langsung dirasakan manfaatnya, diperparah dengan kurang
ditanggapinya berbagai tuntutan masyarakat dalam permasalahan lingkungan,sehingga
atas dasar permasalahan tersebut penting kiranya memunculkan suatu konsep
tentang tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang dikenal denganCorporate
Sosial Responsibility (CSR).
Legislatif
melalui undang-undang nomor 40 tahun 2007mewajibkan perusahaan pengelola sumber
daya alam (SDA) dan atau yang berkaitan dengan SDA untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial lingkungan (CSR).[1] Pencantuman tanggung jawab sosial dan
lingkungan ini bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi
perseroan terbatas itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada
umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan
perseroan terbatas yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai,
norma, dan budaya masyarakat setempat.[2]
Lahirnya
peraturan ini memunculkan kekhawatirann dan reaksi keras dikalangan pengusaha,
hal ini terbukti dengan diajukannya permohonan pengujian materil terhadap
ketentuan pasal 74 dan penjelasan pasal 74 undang undang nomor 40 tahun 2007
tentang perseroan terbatas (UUPT)[3]oleh para pemohon yang tergabung dalam Tim
Advokasi[4] Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (Tim
Advokasi TJSL).
Reaksi
tersebut dapat dimaklumi, karena CSR berangkat dari konsep kepedulian(philantropy) yang melampaui kewajiban(beyond) yang telah diatur oleh peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, diseluruh dunia, baru Indonesia
yang mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan melaksanakan CSR.[5] Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 menolak permohonan pengujian pemohon
untuk seluruhnya. Penolakan ini memberikan angin segar terhadap kepastian hukum
bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tetaplah merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh perusahaan, sehingga apabila perusahaan tidak
melaksanakannya maka wajib dikenakan sanksi seperti telah diwajibkan dalam
UUPT, sebagimana Pasal 74 UUPT yang berbunyi:[6]
1) Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2) Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban
Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang
tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Oleh
karena ketentuan Pasal 74 UUPT ini membutuhkan aturan pelaksana sebagaimana
bunyi ayat (4) diatas, maka kemudian pada tanggal 4 april tahun 2012
disahkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab
sosial dan lingkungan perseroan terbatas (PP TJSL PT).
Berdasarkan
PP TJSL PT ini, Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan
oleh direksi berdasarkan rencana kerja[7] tahunan perseroan setelah mendapat
persetujuan dewan komisaris atau rapat
umum pemegang saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan.[8] kemudian pendanaan TJSL PT pengeluarannya
dapat dianggarkan sebagai biaya perseroan.[9] dengan demikian pengeluaran tersebut dapat
diperhitungkan sebagai pengurangan beban pajak.
Antara
UUPT maupun PP TJSL PT, keduanya menyebutkan bahwa ada dua jenis perseroan yang
diberikan kewajiban untuk melaksanakan TJSL PT, yaitu perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam dan perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam.
Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam
adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam,
tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam
termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup.[10] Namun, penjelasan tersebut masihlah bersifat
abstrak sebab tidak disebutkan secara jelas mengenai karakteristik ataupun
kategori perseroan apa saja yang termasuk
dari dua jenis perseroan yang dimaksud.
Kemudian,
dengan disahkannya PP TJSL PT sebagai peraturan pelaksana, sejatinya hanya
sebatas menjelaskan bagaimana pelaksanaan TJSL PT dan belum dapat menjawab
permasalahan secara konkrit. Selain tidak ada pengaturan karakteristik
perseroan seperti apa yang dikategorikan berkaitan dengan sumber daya alam,
ternyata terdapat ketidakjelasan terkait ketentuan penerapan sanksi bagi
perusahaan yang tidak menjalankan TJSL, karena sebenarnya ketentuan penerapan
sanksi yang diatur dalam Pasal 7 PP TJSL PT maupun Pasal 74 ayat (3) UUPT semua
dilimpahkan kepada peraturan perundang-undangan terkait. Hal ini yang masih
perlu ditinjau kembali bahwa apakah benar peraturan perundang-undangan terkait
sebagaimana yang dimaksud telah dapat dan siap untuk menjawab permasalahan
ketentuan penerapan sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan TJSL.
Di
dalam ilmu hukum, sanksi bukanlah sesuatu yang esensial. Sanksi merupakan
elemen tambahan. Unsur esensial di dalam hukum adalah bahwa aturan tersebut
dapat diterima oleh masyarakat sehingga aturan tersebut mempunyai sifat
mengikat.[11] Benar memang, dengan diterimanya aturan
hukum, maka dengan sendirinya hukum itu akan ditaati. Namun, yang harus diingat
bahwa kenyataan diterima atau tidaknya sebuah aturan hukum tergantung pada
kesadaran hukum yang dimiliki oleh para subjek hukum (person dan rechtperson). Lantas
apakah kita harus menunggu sampai para subjek hukum itu sadar.
Program
penilaian peringkat perusahaan (PROPER) yang dilaksanakan olehKementerian
Negara Lingkungan Hidup, menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72
perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada
yang berperingkat emas. Banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan
merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab sosial
lingkungan. Dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi
kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya
(capitalmaintenance). Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan
untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada
masyarakat.[12] Hal inilah yang harus menjadi perhatian
pemerintah untuk bertindak tegas terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan.
Permasalahan
kesejahteraan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, namun juga merupakan tanggung jawab bagi seluruh lapisan
masyarakat, baik itu masyarakat dalam lingkup dunia usaha, organisasi sosial,
lembaga swadaya, ataupun para akademisi dalam bidangnya.
Oleh
karena itu, untuk menyatukannya diperlukan sebuah wadah yang secara terstruktur
dan berkelanjutan agar dapat mempermudah sinergi antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun masyarakat. Pandangan inilah yang kemudian
melatarbelakangi Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Forum Tanggung
Jawab Sosial Dunia Usahadalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial (Permensos Forum
CSR) yang diundangkan pada tanggal 17 juli 2012 untuk mulai memprakarsai
terbentuknya forum CSR, yang dalam peraturan ini disebut sebagai “Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha”.
Forum Tanggung
Jawab Sosial Dunia Usaha itu sendiri
adalah suatu lembaga/wahana yang terdiri dari unsur masyarakat, dunia
usaha, dan perguruan tinggi dan di fasilitasi Pemerintah yang bertujuan
mengoptimalkan implementasi peran dunia usaha dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.[13] Artinya bahwa ditahun 2012 pemerintah sudah
mulai memiliki konsistensi dan keseriusan dalam merespon permasalahan CSR,
yaitu menemukan formulasi secara teknis
pelaksanaan CSR dengan melembagakannya dalam sebuah forum. Berdasarkan
peraturan tersebut forum ini sendiri berkedudukan di Jakarta dan Provinsi di
seluruh Indonesia.
Pemerintah
Daerah melalui Permensos forum CSR, mulai membentuk forum-forum CSR yang sama,
salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah lahirnya Peraturan Daerah
Provinsi Riau Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di
Provinsi Riau (Perda CSR).
Perda
ini mengatur tentang penerapan CSR didaerah dan juga merekomendasikan kepada
kepala daerah dalam hal ini Gubernur untuk membentuk forum CSR di daerah,
kemudian Gubernur Riau melaluiKeputusan Gubernur Riau
Nomor: Kpts. 908/XI/2013 Tentang Pembentukan Forum Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (TJSP) di Provinsi Riau yang kemudian diganti dengan Keputusan
Gubernur Riau Terbaru Nomor:
142 Tahun 2015 tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan di Provinsi
Riauuntuk membentuk forum CSR di tingkat Provinsi, namun
hingga sampai sekarang forum tersebut belum dapat terealisasi pelaksanaannya.[14]
Pemerintah Kabupaten Siak mendata dari 164
perusahaan yang ada didalam Forum CSR baru 64 perusahaan saja yang sudah aktif
melaksanakan CSR.[15]Anggota
DPRD Provinsi Riau Dapil Rokan Hilir, Karmila Sari menyampaikan bahwa selama
ini pemerintah tidak memiliki data lengkap pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh
perusahaan di Provinsi Riau.[16]Tidak
adanya data tersebut menyebabkan tidak berjalannya pengawasan oleh
pemerintah,hal inilah yang juga menjadi
hambatan pemerintah dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Indonesia adalah bangsa yang besar akan
potensi sumber daya alam (SDA). Namun besarnya potensi ini bukanlah alasan bagi
kita untuk terus mengandalkan SDA sebagai sumber penghidupan bangsa ini. Sebab
tidak akan ada jaminan 10-50 tahun yang akan datang SDA ini akan terus ada, ia
bisa hilang, habis dan bahkan rusak oleh eksploitasi manusia maupun korporasi.
Sebelum kekayaan alam ini benar-benar habis, bangsa ini harus segera
mengkonversikannya dalam bentuk yang lain yaitu sumber daya manusia yang
potensial yang kokoh dalam bidang agama, iptek dan perekonomian.
Dubai, di tahun 1985, 50%
Pendapatannya tergantung dari sektor migas, namun 50% sektor migas itu hanya memiliki
cadangan 4 miliar barel, sadar akan keterbatasan sumber daya alam yang akan
habis, Dubai lalu meningkatkan pembangunan ke sektor non migas melalui
pembangunan infrastruktur, telekomunikasi, jasa pariwisata, serta bisnis
properti, dan terbukti di tahun 2003 Sektor migas Dubai hanya menyumbang 7%pendapatan
negara, namun kini sektor non migas Dubai telah mampu menyumbang 93 % pendapatan
negara.[17]
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan besar
adalah bahwa apakah perusahaan-perusahaan yang menjalankan usahanya dibidang
sumber daya alam atau yang berkaitan dengan sumber daya alam, telah
berkontribusi memikirkan nasib bangsa ini kedepannya, hal inilah yang tentunya
sangat dibutuhkan peran tegas pemerintah sebagai pemegang kedaulatan
perekonomiandalam memberikan kemajuan bagi bangsa Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang
berkaitan dengan penerapan sanksi kepada perusahaan yang tidak menjalankan
tanggung jawab sosial perusahaan dengan judul: “Tinjauan Normatif Penerapan Sanksi Bagi Perusahaan Yang Tidak
Menjalankan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)”.
[1] Firdaus, “Corporate Social Responsibility Dalam Tafsir konstitusi”, Artikel
Pada Jurnal Konstitusi, BKK Fakultas
Hukum Universitas Riau Kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Vol. I, No. 1, November 2012, hlm. 58.
[2]Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan
Terbatas (Berdasarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007), Jakarta, Permata Aksara, 2013, hlm. 16.
[3]Pada awalnya Perseroan Terbatas (PT) atau Naamlooze Vennootschap diatur dalam Pasal 36-56 Wetboek Van Koophandle atau Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Pasal 613 Ayat (3) Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
tentang Saham Tunjuk, mengingat perkembangan praktek usaha PT sangat cepat dan
peraturan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan zaman maka kemudian lahirlah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[4]Para Pemohon yang tergabung didalam Tim
Advokasi ini terdiri dari: Muhammad
Sulaiman Hidayat, Ketua Umum Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN); (2)
Erwin Aska, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(BPP HIPMI); (3) Fahrina Fahmi Idris,
Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusahan Indonesia (IWAPI); (4) PT. Lili Panma, yang diwakili oleh Hariyadi B Sukamdani selaku Presiden
Direktur; (5) PT. Apac Centra
Centertex, Tbk, yang diwakili oleh Benny Soetrisno Selaku Presiden Direktur; (6) PT. Kreasi Tiga Pilar, yang diwakili
oleh Febry Latief selaku
Presiden Direktur (Direktur Utama) dalam putusan Mahkamah Kostitusi Nomor
53/PUU-VI/2008.
[5]Totok Mardikanto, Corporate Social
Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Korporasi), Bandung, Alfabeta, 2014,
hlm. 201.
[6]Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas.
[7]Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 47 Tahun 2012. “Rencana Kerja memuat rencana kegiatan dan
anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan”
[8]Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
[9]Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
[10]Lihat Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
[11]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 9.
[12]Lestari.Wuryanti, Tinjauan Tentang Implementasi Corporate Social
Responsibility (CSR) Pada Perusahaan, Jurnal
Riset Akuntansi dan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Malahayati, Vol. 2, No. 2, Desember 2013, hlm. 74.
[13]Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Sosial
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Forum Tanggung Jawab Sosial
Dunia UsahaDalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
[14]Wawancara
dengan Bapak Catur Hariyadi, S.E, Kasubbag Umum Bappeda Provinsi Riau, Hari
Rabu, Tanggal 24 Februari, 2016, Bertempat di Kantor Bappeda Provinsi Riau.
[15]http://riaumandiri.co/mobile/detailberita/23081/3-tahun,-pemkab-siak-himpun-dana-csr-rp73,43-m.html, diakses tanggal
16 Mei 2016
[16]Riau Pos
Hari Sabtu Tanggal 16 April 2016, hlm.
28.
0 Comments