Politik
peburuhan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (periode 1945-1965), hanya dapat
dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat
(3). Periode sesudah kemerdekaan, pemerintah Orde Lama (Orla) dan telah melihat
kaum buruh hanya diperuntukkan untuk kepentingan kebutuhan fisiknya untuk
bekerja pada pabrik yang dipergunakan untuk pemakaian untuk menjalankan. Tidak
pernah diperhatikan hak hakikinya yaitu pemberian kesejahteraan termasuk di
dalamnya masalah upah kerja yang diberikan oleh pengusaha yang terlebih duhulu
diproses pemerintah periode Orla
Sebenarnya
penyebab terjadinya gonjang ganjing hukum perburuhan disebabkan oleh;
- Pertama, pengaruh politik hukum perburuhan, karena pemahaman kesepakatan bersama antara buruh dengan majikan yang melahirkan perjanjian perburuhan baik yang dilakukan secara individu maupun secara kolektif. Elemen perjanjian kerja harus jelas dan tegas antara perjanjian kerja hanya waktu tertentu, dan perjanjian kerja dimana buruh bekerja dibawah kemauan majikan. Asumsi yang terjadi adalah buruh yang bekerja pada perusahaan hanya bekerja dibawah kemauan memberi kerja yaitu majikan, sehingga majikanlah yang menentukan upah buruhnya.
- Kedua, pemogokan buruh menuntut perbaikan penghasilan (1945-1949) pada periode ini, dimana masalah perburuhan memang kurang mendapat perhatian, karena pihak pemerintah pada waktu itu, masih bergulat masalah politik. Pada pemerintahan RIS (1949-1950), merupakan pergolakan politik yang merobah sistem perburuhan tentunya juga otomatis perubahan sistem pengaturan buruh. Periode UUDS (1950-1950) melakukan pemogokan besara-besaran (950.000 buruh didukung oleh SBSI, KABM, SBPU, SBPI SBKA).
- Ketiga, dalam kondisi politik-ekonomi mempengaruhi pendapatan buruh (1950-1965), sehingga ILO mendesak Indonesia untuk meratifikasi Konvensinya No.98 Tahun 1949 yang kemudian menjadi UU No.18 Tahun 1956 dalam masalah jamian dan perlindungan kaum buruh. Dengan kembali pemberlakukan UUD 1945 untuk kedua kalinya melalui Dektri Presiden 5 Juli 1959, masalah perburuhan secara umum dan masalah pengupahan secara khusus masih belum ada secara konkrit pengupahan buruh untuk memberikan perlindungan buruh yang datangnya dari pemerintah dan pengusaha. Bahkan periode ini telah memberikan peluang bagi partai komunis yang memanfaatkan kondisi buruh sektor pertanian sebagai alat propoganda untuk memojokkan perjuangan buruh, karena melahirkan "Demokrasi Terpimpin" termasuk terpimpin mengingat belum profesional kinerja segala bidang sehingga pengendalian harga melalui komando, dan ancaman-ancaman sanksi dari perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, misalnya undang-undang anti subversi, dan mahkamah-khusus untuk kejahatan-kejahatan ekonomi berjalan sesuai dengan kemauan pemerintah.
A. Masa
Orde Lama
Dalam merebut
kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan yang penting. Peran baru
dengan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan nasional, melalui yang disebut
dengan “Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat Buruh di Indonesia”, aktif
dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Sumbangan bagi
keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi fisik (1945-1949),
menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia
mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam pembentukan
kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah
mengherankan bahwa pada masaawal kemerdekaan Indonesia ada beberapa peraturan
hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti amat
protektif atau melindungi kaum buruh.
Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Keselamatan di Tempat Kerja diterbitkan oleh
pemerintah sementara di bawah Sjahrir, Undang-undang ini member sinyal
beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini, yang mana
sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung liberal atau
dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti “no work no pay”.
Kemudian
menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang Perlindungan Buruh dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-undang
ini mencakup banyak aspek perlindungan bagi buruh, seperti larangan
diskriminasi di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu,
kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan, larangan
mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan
untuk mengambil cuti haid 2 hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan.
Undang-undang ini bisa dikatakan paling maju di regional Asia pada waktu itu,
yang kemudian menjadi dasar utama kebijakan legislasi hukum perburuhan di
Indonesia yang prospektif.
Pada tahun
1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis, dihasilkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
disusul Undang-Undang Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta yang memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja
dengan kewajiban meminta ijin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Sebelumnya
sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis
dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang tahun 1956 yang
meratifikasi Konvensi ILO N0. 98 Tentang Hak Berorganisasi sekaligus menjamin
lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.
B. Pada
Masa Orde Baru
Pada Masa Orde
Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta
bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan
pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala
sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan
Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Untuk
mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam
dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan
UUD 1945 dijadikan landasan Idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat
Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan
sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan
kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dengan Ketetapan
MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945
secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Orde Baru
diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian dan
penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen konstelasi
kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi buruh.
Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi dalam
sejarah sebelumnya.
Orde Baru
memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu, salah satu
tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto adalah
menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor
paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru.
Rezim Soeharto
menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation) dimana
penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan ekonomis ini,
pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya juga merupakan aspek yang
penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru.
Agenda utama
rezim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan
kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal, seperti gerakan buruh
yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah
kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah partai
politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran
Orde Lama.
Meskipun
stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik penguasa
terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri
dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi
buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat
atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai
kekuatan sosial.
Kondisi
perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model
akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung
terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan
signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan
pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan tentang
ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme.
Pada periode
ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi semakin kuat dengan
diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salah satu contoh
paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus Marsinah yang
hingga kini masih menjadi misteri.
Selain sebagai
alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan massa buruh yang
kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis sejak tahun 1958,
suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya. James Castle menilai bahwa
hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru ditandai oleh kontrol
pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.
Seperti yang
kita ketahui, Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan bahwa
paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara
mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa
dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap hukum perburuhan sebagai
intervensi atau diskriminasi yang melemahkan perekonomian karena melanggar
doktrin laissez-faire.
Bahaya instruksi
ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan buruh dipahami
semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika pemerintah atau
siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau
"mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum modern
mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid). Ia menuntut
birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan pendidikan
khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi wilayah esoterik
yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para ahli/sarjana hukum dan
pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum.
Dalam alam
hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat menghilangkan
keadilan yang substansial. Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari kepungan
logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu. Untuk itu
dapat disimpulkan bahwa pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat dengan
efektif digunakan karena pada masa ini hukum berada di bawah intervensi
pemerintah yang memerintah secara Diktator.
C. Masa
Reformasi
Sejak
berakhirnya masa Orde Baru, peluang untuk lahirnya gerakan buruh dimulai dengan
dibukanya kebebasan berserikat meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui
pemerintah. Pada masa ini SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) melahirkan
jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme
dan menolak Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.
Pada masa ini
telah dapat dipastikan bahwa LSM memegang peranan penting dalam membangun
jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh . Gerakan LSM perburuhan ini sama
sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan dengan
aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Dua belas LSM
perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum
Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan
Undang-Undang tersebut ditandai dengan keluarnya buku yang berisi pemikiran
para ahli mengenai mengapa Undang-Undang itu harus ditolak.
Dalam
pandangan KPHP Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti
jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebasan berorganisasi dan mogok, lembaga
penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1997 ini juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok
buruh.
Situasi
politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten
yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan silih berganti dalam kurun waktu
amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan Undang-Undang
tersebut menunjukkan bahwa penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun
Undang-Undang untuk mengatur perburuhan kembali ke Undang-Undang lama sebelum
akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
D. Masa
Sekarang
Perkembangan
hukum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:
- Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh;
- Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
- Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri.
Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah mengubah sistem
keserikatburuhan di Indonesia. Dengan diundangkannya UU ini maka sistem
keserikatburuhan di Indonesia berubah dari single union system menjadi multi
union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU No.21/2000, sekurang-kurangnya
10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan. Meskipun
sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU No.21/2000 ini
mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui serikat
pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan hukum perburuhan yang mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai
positif.
UU Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU No.25/1997 yang sempat
diundangkan namun tidak pernah efektif. UU No. 13/ 2003 ini juga mengandung
banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal yang satu
dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal
yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
- Perjanjian Kerja Waktu tertentu: Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu.
- Outsourcing: Sejak diundangkannya UU No.13/2003, Outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang di outsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh Pasal 66 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang di outsource juga merasa di back up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui Pasal 66 ayat (2) huruf a UU No.13/2003 Pemerintah melegalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk Human Trafficking. yang tentu kita kenal sebagai suatu pelanggaran akan Hak Asasi Manusia. Namun setelah diajukan Yudisial Review kepada Mahkamah Konstitusi sehingga kini telah terdapat pembatasan dan pengetatan terhadap keberlakuan sistem Outsoursing di Indonesia. selengkapnya Klik Tentang Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK.
1 Comments
Apa alasan anda memilih materi itu?
ReplyDeleteBuat 1 paragraf alasannya
Tolong kak buat tugas sekolah