Facebook

header ads

Manusia sebagai Subjek Hukum

Subjek Hukum Manusia



Pengakuan bahwa manusia adalah salah satu subjek hukum, dapat terlihat secara tersirat pada Pasal 6 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi:
Everyone has right to recognition every where as a person before the law”.
(“Setiap orang memiliki hak untuk diakui di mana saja sebagai pribadi di hadapan hukum”)

Jadi, kedudukan manusia sebagai subjek hukum, sekaligus mendudukkan manusia memiliki kesamaan di muka hukum; equality before the law dan man is person before the law.

Manusia sebagai subjek hukum (legal personality) didefinisikan oleh Curzon (1979:228) sebagai berikut.
“legal personality may be considered as the sum total of a person’s legal advantages and disadvantages”.
("Kepribadian hukum dapat dianggap sebagai jumlah total dari keuntungan dan kerugian hukum seseorang".)

Kelsen (dalam Curzon, 1979:228) menyatakan bahwa eksistensi manusia sebagai subjek hukum adalah:

“...a part of the objective legal order, which provicles an organic that is, systematic unity between all the rights and duties it has set up…”

Setiap manusia telah menjadi subjek hukum sejak ia dilahirkan, bahkan jika kepentingannya menghendaki, sejak masih dalam kandungan pun ia telah menjadi subjek hukum, kecuali jika meninggal saat dilahirkan (Pasal 2 BW). Berhentinya manusia sebagai subjek hukum ialah ketika ia menginggal dunia. Ini berarti, tidak dikenal lagi adanya “kematian perdata” yang berakibat dicabutnya hak-hak keperdataan seseorang ketika ia masih hidup.

Sebagai subjek hukum, setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban, tanpa kecuali. Inilah yang dinamai kewenangan hukum untuk mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, setiap manusia mempunyai kewenangan hukum untuk mempunyai hak dan kewajiban, tetapi belum tentu memiliki kewenangan untuk bertindak melakukan sendiri hak dan kewajibannya.

Apa maksudnya bahwa tidak semua manusia mempunyai kewenangan untuk bertindak?. Kewenangan bertindak adalah kecakapan yang diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Tidak setiap manusia mempunyai kewenangan untuk bertindak.

Golangan manusia yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri disebut: personae miserabile, yaitu sebagai berikut:

1. Manusia yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin (minderjarigheid);
2. Manusia dewasa yang berada dibawah pengampuan (kuratele);
3. Istri yang tunduk pada BW.

Diadakannya lembaga personae miserabile ini untuk melindungi kepentingan orang-orang yang tergolong pada status personae miserabile tadi. Sebagai contoh seorang anak yang masih dibawah umur dikhawatirkan oleh hukum akan melakukan tindakan hukum (misal: menjual barangnya dengan harga yang sangat murah) yang merugikan kepentingannya sendiri. Karena itulah, hukum tidak memberikan kewenangan bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum.

1. MANUSIA YANG BELUM MENCAPAI USIA 21 TAHUN DAN BELUM KAWIN (MINDERIJARIGHEID).


Seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin, belum diizinkan untuk melakukan perbuatan hukum senidiri. Walaupun memang diakui oleh hukum bahwa sejak dilahirkan, bahkan jika kepentingannya menghendaki sejak ia masih dalam kandungan, ia sudah memiliki hak dan kewajiban.

Beberapa contoh imajiner berikut ini dapat menjelaskan tentang minderijarigheid.

a. Seorang kakek sebelum wafat menghibahkan sebuah rumah pada cucunya yang masih didalam kandungan ibunya. Si cucu yang masih dalam kandungan ibunya itu sudah memiliki kewenangan hukum untuk menerima penghibahan rumah itu. Dengan demikian sejak akta hibah dibuat secara sah, maka si cucu yang masih berada dalam kandungan ibunya telah menjadi pemilik sah rumah itu. Namun seandainya si cucu telah meninggal ketika dilahirkan , ia dianggap tidak pernah menerima hibah dari kakeknya. Dengan kata lain, rumah itu tetap dianggap milik sang kakek seperti sebelum terjadi penghibahan.

b. Jika si cucu tadi terus hidup, katakanlah usianya mencapai 10 tahun, maka walaupun ia pemilik dari rumah tersebut, ia tidak dapat menjual atau mengalihkan rumahnya pada orang lain tanpa persetujuan dan diwakili oleh walinya. Pada umumnya, wali itu adalah orang tua dari anak, kecuali jika orang tuanya sudah tidak ada, maka diwakili oleh keluarga lain yang terdekat (yang telah berusia 21 tahun). jika dalam usia 18 tahun si cucu tadi menikah, maka walaupun usianya belum 21 tahun tetapi atas dasar pernikahannya, si cucu tadi sudah tidak lagi minderijarigheid sejak pernikahan itu, dan ia sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum  

c. Jika dalam usia 19 tahun si cucu tadi bercerai dengan istrinya atau suaminya, maka meskipun usianya belum 21 tahun, si cucu tadi tetap dianggap telah dewasa dan mampu melakukan perbuatan hukum sendiri. Manusia, baik pria maupun wanita yang telah mencapai 21 tahun dan telah kawin disebut meerderjarigheid.

2. MANUSIA DEWASA YANG BERADA DI BAWAH PENGAMPUAN (KURATELE)


Pada umumnya, semua manusia yang telah meerderjarigheid (yang telah berusia 21 tahun atau telah kawin)dianggap telah mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, kecuali bagi yang berada dibawah pengampuan (kuratele), baik karena gangguan kejiwaan maupun karena pemboros (Pasal 433 BW). Jadi, ada 2 (dua) jenis penyebab ditaruhnya seseorang dibawah pengampuan (kuratele), yaitu:
a. Orang yang sakit ingatan; dan
b. Pemboros atau pemabuk

Untuk pemboros atau pemabuk, ketidakcakapannya untuk bertindak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan di bidang hukum harta kekayaan saja. Orang yang sakit ingatan pun masih dapat dibedakan atas yang mengidap neurosis dan mengidap psikopat. Neurosis itu adalah ketidaknormalan sebagian sistem kejiwaannya, sedangkan psikopat adalah ketidaknormalan yang hampir menyeluruh pada jiwanya.

Seseorang yang berada di bawah kuratele, didalam melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh kurator atau pengampunya. Kurator atau pengampu ini ditunjuk oleh pengadilan berdasarkan suatu penetapan.

Di dalam Pasal 433-434 BW disebutkan tiga buah alasan tentang ditaruhnya seseorang dibawah kuratele, yaitu:
a. Lemah fikiran (zwakheid van vennogens);
b. Kekurangan kemampuan berfikir atau sakit ingatan (krank zinningheid) atau dungu (onnozelheid);
c. Pemboros (verkwisting).

Seseorang mulai dibawah kuratele sejak penetapan pengadilan diucapkan itu. Seseorang yang dibawah kuratele disebut kurandus. Bagi seorang kurandus yang mempunya pasangan (suami/istri), maka pasangannya lah yang diangkat menjadi kuratornya, kecuali jika ada hal-hal penting yang mengakibatkan penilaian dari hakim mengangkat orang lain sebagai kurator.

Jika seorang kurandus mempunyai anak yang masih minderjarigheid, maka dengan sendiri kurator itu yang langsung menjadi wali anak. Berakhirnya pengampuan atau kuratele itu sebagai berikut:
a. Bagi kurandus ada 2 (dua) kemungkinan yaitu: (1). Dengan meninggalnya kurandus; dan (2). dengan hapusnya sebab-sebab kuratele. Hal ini dilakukan dengan penetapan pengadilan.
b. Bagi kurator, maka sebab-sebab umum yang berlaku untuk pengakhiran pengampuan, berlaku pula untuk perwalian (Pasal 459 BW). konkretnya, perwalian dan pengampuan berakhir, jika ada pemecatan atas diri si wali atau kurator. Atau ada alasan pembebasan atau pemecatan, dari perwalian atau pengampuan. Alasan-alasan untuk dapat dimintanya pemecatan diatur pula pada Pasal 380 BW.

3. ISTRI YANG TUNDUK PADA BW / KUHPerdata

Sebagaimana kita ketahui dibidang hukum perdata, ada beberapa subsistem hukum yang diberlakukan dahulu oleh Pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya adalah mereka yang tunduk pada BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). istri-istri yang tunduk pada BW itu, menurut pasal 110 dianggap tidak cakap untuk bertindak, ia harus diwakili oleh suaminya.
Persoalan praktis yang timbul adalah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963, yang menganggap tidak berlaku lagi beberapa pasal BW, diantaranya Pasal 108 dan 110 tentang ketidakwenangan istri untuk melakukan perbuatan hukum.

SEMA Nomor 3 Tahun 1963 menganggap istri yang tunduk pada BW sudah memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sendiri dan tidak perlu lagi diwakili oleh suaminya.

Jika kita sekadar memandang dari optik yuridis-dogmatik, maka persoalan yang timbul ialah sehubungan dengan hierarki perundang-undangan, sebab secara formal, derajat suatu kodifikasi seperti BW jauh lebih tinggi dari SEMA. Karenanya, secara yuridis formal, tidak mungkin suatu SEMA menghapuskan berlakunya pasal-pasal dari BW yang merupakan kodifikasi.

Persoalnnya akan menjadi lain jika kita memandangnya dari optik non-yuridis-dogmatik. SEMA No. 3 Tahun 1963 itu seyogianya kita pandang dari segi praktisnya. Karena SEMA itu merupakan pendapat Mahkamah Agung RI. Maka para hakim ditingkat Pengadilan Negeri dan tingkat banding akan menyadari bahwa kalaupun mereka memutus yang bertentangan dengan SEMA itu, pada akhirnya Mahkamah Agung akan membatalkan putusan mereka.

Secara yuridis memang SEMA itu hanya bersifat administratif, yang harus mengikat “bawahan” Mahkamah Agung. Namun, sekali lagi, secara praktis “mengikat” Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan alasan yang telah penulis kemukakan diatas.

Setelah kita mengetahuiadanya 3 (tiga) golongan manusia yang oleh hukum dianggap tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sendiri perbuatan hukum, maka mengakhiri pembahasan tentang manusia sebagai subjek hukum, penting diketahui bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum merupakan syarat terjadinya perikatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW.

Dengan demikian, perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum senidiri, tetap sah, tidak batal demi hukum, dan tidak batal sejak mulanya, hanya saja dibatalkan oleh hakim atas tuntutan wakil dan walinya.

Sebaliknya, ketidakwenangan untuk melakukan sendiri perbuatan hukum itu tidaklah memengaruhi timbul atau tidaknya akibat hukum dalam perbuatan melawan hukum (onrechmatighedaad).



Ali, Achmad. 2017. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Kencana. hal. 247-251

Post a Comment

0 Comments