Dua minggu lalu, ada pertanyaan dari rekan sekantor, yang saat ini
sedang mengalami masalah perebutan tanah ulayat di kaumnya dengan salah satu
perusahan perkebunan kelapa sawit di Riau, Kita sebut saja PT X.
Usut punya usut PT X ini mendapat HGU ± 80.000 ha dari pemerintah, dan ± 800 ha dari seluruh HGU itu sebenarnya sudah di klaim sejak lama oleh masyarakat adat merupakan bagian dari tanah ulayat.
Usut punya usut PT X ini mendapat HGU ± 80.000 ha dari pemerintah, dan ± 800 ha dari seluruh HGU itu sebenarnya sudah di klaim sejak lama oleh masyarakat adat merupakan bagian dari tanah ulayat.
Sebelumnya masyarakat adat sudah mengadakan aksi protes kepada PT X
terkait “penyerobotan” tersebut, kemudian dilakukan proses mediasi, dan hasil dari mediasi
tersebut masyarakat adat membuat perjanjian bersama dengan PT X, dimana salah
satu poin perjanjiannya adalah bahwa pihak perusahan akan menjadikan tanah
ulayat tersebut menjadi kebun plasma yang akan dikelola oleh koperasi bersama
masyarakat adat.
Namun kondisi terkini dari 800 ha tersebut seluruhnya sudah ditanami
oleh kebun kelapa sawit oleh perusahaan. Tetapi hasilnya tidak diserahkan
kepada masyarakat adat. sehingga masyarakat kini ingin melakukan perlawanan
terhadap PT X.
Permasalahan seperti ini sebenarnya banyak sekali dialami oleh
masyarakat adat, dan sepertinya saya tergerak untuk mengulasnya lebih dalam. Agar
setidaknya ada secercah harapan untuk membantu masyarakat adat yang saat ini sedang
mengalami masalah yang sama.
Pertama, mari kita
awali dengan pengertian apakah hukum adat itu? dan apakah masyarakat hukum adat
itu? Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang bersumber dari
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Sedangkan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dan masyarakat hukum adat inilah yang dilindungi oleh Negara dan
diberikan kewenangan mengambil manfaat dari sumber daya alam (hak ulayat), salah
satunya terhadap tanah ulayat.
Kedua, supaya lebih bertaji, kita
harus paham dulu terkait dengan Dasar Hukumnya, Pengakuan hak ulayat terdapat
pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang.”
Kemudian, untuk mendukung amanat UUD dan memberikan penguatan terhadap
reformasi pada sistem hukum pertanahan di Indonesia maka lahirlah UU Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Pasal 2 ayat (4) UUPA menyebutkan bahwa
“Hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra[1]
dan masyarakat hukum adat, sekedar di perlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”
Kemudian dipertegas pada Pasal 3 UUPA:
“Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan pada Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang kenyataannya masih ada.” Artinya jika masyarakatnya sudah
meninggalkan budaya, hukum, serta adat istiadatnya maka secara otomatis hilang
lah pengakuan Negara. Namun sebaliknya jika eksistensi masyarakat hukum adat
tersebut masih ada dan terus terjaga kelestariannya, maka Negara wajib hadir,
melindungi, serta mengakui keberadaannya.
Dasar hukum selanjutnya yang dapat dijadikan rujukan dan pegangan kita
adalah Perda Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya.[2]
Yang menjelaskan bahwa tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah
untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat di Provinsi
Riau serta memberikan perlindungan hukum, menjamin pelestarian dan pemanfaatan
tanah ulayat.[3]
Sehingga lengkaplah sudah, mulai dari level Undang Undang Dasar hingga ke
Perda, semuanya sudah mengatur dan mengakui keberadaan Hukum adat. maka tidak
ada kata ragu-ragu bagi masyarakat hukum adat untuk memperjuangkan hak-hak nya.
Ibarat pribahasa “sekali layar
terkembang, surut kita berpantang”.
Ketiga, kembali
ke permasalahan awal. Jika kita lihat dari peristiwa hukumnya maka sekilas kita
akan katakan bahwa telah terjadinya wanprestasi, bahwa ada perjanjian yang
dibuat dua pihak tetapi salah satu pihaknya mengingkari isi perjanjian. Namun,
sebelum kita menyimpulkan kearah itu, kita harus melihat dulu bagaimana status dari
masyarakat adatnya.
Bicara soal “Hak” ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi, 1) subjek; 2)
objek; 3) hubungan hukum (hubungan yang mengikat pihak lain dengan kewajiban);
dan 4) perlindungan hukumnya, dan unsur subjek menempati kedudukan terpenting,
karena ketidakjelasan tentang subjek akan berimbas pada ketidakjelasan ketiga
unsur lainnya.
Nah, untuk mulai memperjelasnya, dalam hukum adat, pengakuan hak ulayat dikenal
dengan istilah hak komunal. Hak komunal
adalah hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik
bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan
tertentu.
Sehingga masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan sebagai subjek
hukum dari tanah ulayat maka haruslah mengajukan permohonan untuk mendapatkan
hak komunal, agar eksistensinya mendapat pengakuan, perlindungan, serta
kepastian hukum dari Negara.
Lalu, bagaimana cara mendapatkan hak komunal?
Berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016
Tentang tata cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan
masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, menyatakan bahwa masyarakat
hukum adat yang memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya.[4]
Lantas apa saja persyaratan agar diakui sebagai masyarakat hukum adat?. Pasal
4 ayat (1) Permen tersebut menjelaskan syarat-syarat nya yaitu:
- Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban;
- Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya;
- Ada wilayah hukum adat yang jelas; dan
- Ada pranata dan perangkat hukum, yang masih ditaati.
Setelah kira-kira kriteria tersebut terpenuhi maka masyarakat hukum adat
harus mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota jika lokasi tanahnya berada dalam
satu wilayah kabupaten/kota,[5]
atau mengajukan permohonan kepada Gubernur jika lokasi tanahnya terletak di
lintas Kabupaten/Kota.[6] Dimana
permohonan tersebut disertai riwayat masyarakat hukum adat, dan riwayat
tanahnya.[7]
Apabila permohonan sudah diterima oleh Bupati/Walikota atau Gubernur,
maka Bupati/Walikota atau Gubernur akan membentuk Tim IP4T[8] (Inventarisasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah) untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum
adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu beserta tanahnya.[9]
Lebih detailnya, Tim IP4T ini bertugas untuk:[10]
- Menerima permohonan;
- Melakukan identifikasi dan verifikasi pemohon, riwayat tanah, jenis, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah;
- Mengidentifikasi dan mengiventarisasi batas tanah;
- Pemeriksaan lapangan;
- Melakukan analisis data yuridis dan data fisik bidang tanah; dan
- Menyampaikan laporan hasil kerja Tim IP4T.
Jika lokasi tanah berada dalam kawasan hutan maka Tim IP4T akan
menyerahkan hasil analisis kepada Kementerian Kehutanan cq. Dirjen yang
mempunyai tugas dibidang Planologi Kehutanan, untuk mendapat pertimbangan dan keputusan
pelepasan dari kawasan hutan, setelah status tanah lepas dari kawasan hutan Tim
IP4T melaporkan kepada Butapi/Walikota atau Gubernur untuk memperoleh suatu
penetapan.[11]
Dalam hal tanah tersebut berada dalam kawasan HGU (Hak Guna Usaha) maka
Tim IP4T akan menyampaikan pemberitahuan kepada pemegang hak dan pihak terkait
mengenai penguasaan tersebut, serta meminta kepada pemegang hak untuk melepaskan
tanah tersebut, dan pemberitahuan itu ditembuskan kepada Menteri. [12]
Jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pemberitahuan dan
pemegang hak keberatan melepaskan atau mengembalikan tanahnya kepada Negara,
maka Kanwil BPN akan mengajukan usulan pembatalan kepada Menteri. Setelah
menerima usulan pembatalan maka Menteri menetapkan diterima atau ditolaknya
usulan. Jika diterima maka akan diterbitkan keputusan pembatalan HGU.[13] Tanah
yang telah dibatalkan sebagian hak nya itu akan berubah status menjadi Tanah
Negara Bekas Hak yang selanjutnya akan diberikan kepada pemohon.
Jika dalam hasil analisi Tim IP4T ditemukan bahwa tanah yang di mohonkan
masyarakat adat tersebut diketahui dalam keadaan sengketa, Tim IP4T akan
melakukan mediasi kedua pihak untuk menyelesaikan sengketa atas tanah. Jika proses
mediasi berjalan lancar, dan dalam pemantauan Tim IP4T ditemukan adanya
eksistensi masyarakat hukum adat, adanya pimpinan adat dan anggota masyarakat
hukum adat, serta adanya data dan riwayat kepemilikan tanah adat, maka Tim IP4T
akan menyampaikan laporan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk mendapat
penetapan melalui keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur.
Dan kemudian Bupati/Walikota atau Gubernur menyampaikan kepada Kepala
Kantor Pertanahan atau Kepala Kanwil BPN untuk ditetapkan dan di daftarkan hak
komunal atas tanahnya pada kantor pertanahan setempat.
![]() |
Contoh Hak Komunal Suku Baduy |
Jadi, mulai sekarang, jika tanah adat di serobot korporasi jangan aksi dulu, tapi urus dulu hak komunalnya, apalagi dalam kasus dengan PT X, jika kita sudah punya hak komunalnya, maka kita bisa negosiasi ulang dengan PT X. untuk melaksanakan isi perjanjian yang dulu pernah dibuat dengan posisi hukum kita yang jauh lebih kuat dari sebelumnya.
menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dalam pengolahan tanah ulayat itu tidak salah, sebagaimana bunyi pasal 20 Permen Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 10 Tahun 2016:
"hak komunal yang diberikan kepada masyarakat hukum adat yang telah didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3), penggunaan dan pemanfaatan tanahnya dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, sesuai kesepakatan para pihak dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan."
"Namun, yang harus diingat bahwa Hak Komunal terhadap tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan hanya dapat diwariskan kepada anak cucu."
Semoga bermanfaat ya.
[1]
Istilah daerah swatantra sudah
tidak dipergunakan semenjak berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang sudah diganti saat ini dengan UU No. 9
Tahun 2015 jo UU No. 2 Tahun 2015 jo UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
[2]
Perda ini pernah digugat oleh Walhi
Riau dan LBH Pekanbaru ke Mahkamah Agung. Dan 2 dari 6 pasal yang di gugat
akhirnya dikabulkan MA untuk di batalkan yaitu Pasal 10 ayat (1) dan (2) juncto
Pasal 16 ayat (1) Perda Riau Nomor 10 Tahun 2015
[3]
Pasal 4 Perda Provinsi Riau
Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
[4] Pasal 2 ayat (1) Permen Agraria dan
Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[5]
Pasal 6 Ayat (1) Permen
Agraria dan Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[6]
Pasal 6 Ayat (2) Permen
Agraria dan Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[7]
Pasal 5 Ayat (2) huruf a Permen
Agraria dan Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[8]
Ditingkat Kabupaten/Kota Tim
IP4T terdiri dari (1) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selaku Ketua
merangkap anggota; (2) Camat; (3) Lurah/Kepala Desa; (4) Pakar Hukum Adat; (5)
Dinas Kehutanan Kab/Kota, Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Dinas Tata Ruang jika
berada dalam kawasan hutan; (6) Perwakilan Masyarakat Hukum Adat; (7) LSM; dan (8)
Instansi yang mengelolah SDA.
Ditingkat Provinsi Tim IP4T terdiri dari (1)
Kepala Kanwil BPN Provinsi selaku ketua merangkap anggota; (2) Unsur Pakar
Hukum Adat; (3) Dinas Kehutanan/ Provinsi, Balai Pemantapan Kawasan Hutan,
Dinas Tata Ruang jika berada dalam kawasan hutan; (4) Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota; (5) Camat; (6) Lurah; (7)Perwakilan Masyarakat Adat; (8) LSM;
dan (9) Instansi yang mengelolah SDA.
[9]
Pasal 5 Ayat (3) Permen
Agraria dan Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[10] Pasal 7 Permen Agraria dan Tata
Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[11] Pasal 12 Permen Agraria dan Tata
Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[12] Pasal 13 ayat (2) Permen Agraria dan
Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
[13] Pasal 14 ayat (4) Permen Agraria dan
Tata Ruang / BPN Nomor 10 Tahun 2016
0 Comments