Facebook

header ads

Rekonsiliasi, Jalan Sunyi Sang Jenderal?


Prabowo dan Jokowi
Sumber Image: Setkab.go.id

Bicara soal Pilpres, rasanya memang tidak akan ada habisnya, ia seperti sinetron dengan ribuan episode, Ia seperti ranting dengan ribuan tunas produktif, Ia seperti katak dewasa disaat musim penghujan tiba. terus tumbuh dan beregenerasi dengan kabar-kabar terbarunya. Yang terkadang hadir dengan berita baik, membawa suka dan bahagia. Terkadang juga hadir dengan berita buruk, membawa benci dan amarah.

Kabar baik, mampu menimbulkan golongan “peng-Agung” yang siap menjadi pendukung. kabar buruk, mampu membentuk golongan militan yang siap lakukan perlawanan. Tanpa disadari semua kabar terkonsumsi mulai dari tataran elite hingga sampai ke akar rumput. sehingga sedikit api tersulut mudah kita terpecah belah.

Disaat Mahkamah sang peng-Adil dengan putusan final dan mengikatnya, belum mampu meredakan dahaga akan keadilan bagi golongan militan. Maka wajarlah, kata “rekonsiliasi” gencar dihembuskan akhir akhir ini. Apakah itu untuk merajut kembali merah putih, ataukah hanya sedekar memantapkan legitimasi dari calon terpilih.

Awal ketegangan bermula

Kita ketahui bahwa hubungan baik antara Prabowo dan Jokowi bermula pada Pilkada DKI Jakarta 2012. dimana Prabowo sebagai ketua umum Gerindra bersama PDIP-Perjuangan mengusung Jokowi dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, dan saat itu dukungan Prabowo sangat totalitas baik dari segi pendanaan maupun turun langsung menjadi juru kampanye Jokowi-Ahok, hingga akhirnya membawa Jokowi melenggang mulus ke kursi orang nomor satu DKI.

Pilpres 2014, awal gesekan itu terjadi. Prabowo tak menyangka, sosok Jokowi yang didukungnya untuk merebut kursi DKI 1, justru malah berhadapan dengannya untuk merebut Kursi RI 1.

Jokowi, sosok dengan citra “merakyat” dan dikenal dengan Tren “blusukan” ini menjadi tokoh yang sangat populer disemua lembaga survey (walaupun banyak pengamat mengatakan bahwa kepopulerannya itu tidak natural, karena adanya suplay oleh “media darling” yang kurang berimbang kala itu) tapi apapun itu tetap ia menjadi fenomenal hingga ke pelosok desa, dan menjadi idola baru bagi anak muda, yang juga dicintai masyarkat di semua kasta. 

Hasil survey itulah yang kemudian menjadi pertimbangan Megawati selaku nahkoda PDI-P memberi mandat kepada orang nomor satu DKI itu untuk maju pada kontestasi Pilpres 2014, walau harus menghianati perjanjian “Batu Tulis” yang dibuatnya bersama Prabowo dulu. Prabowo kecewa, tapi ia sadar itulah dinamika politik yang harus ia terima.

Pilpres 2014, menjadi Pilpres terpanas sejak reformasi, atau bahkan sejak Indonesia merdeka. Polarisasi politik terjadi, antara Koalisi Merah Putih (KMP) dibawah komando Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dibawah komando Jokowi. Polarisasi ditataran elit itu berefek pada warga bangsa kita terbelah kedalam dua kutub yang bersebrangan mulai dari soal isu, kebijakan, hingga saling tuding idiologi anti pancasila. 

Tetangga saling bermusuhan, teman dekat saling berjauhan, suami istri saling bertengkar, disebabkan hanya karena beda pilihan. Ketegangan itu sempat mereda, saat Prabowo tunjukkan kenegarawanannya mematuhi putusan Mahkamah dan hadiri pelantikan Jokowi di Periode Pertama.

Namun itu hanya sesaat, Prabowo dengan Gerindra bersama koalisinya yang tersisa yaitu PKS, benar-benar menjadi oposisi yang kritis. Terutama soal hutang negara yang semakin menumpuk, impor yang ugal-ugalan, bocornya keuangan negara, dll. Sehingga semakin menaikkan tensi politik diantara kedua kubu. 

Disatu pihak merasa adanya ketidakadilan dan terjadinya diskriminasi hukum, dipihak yang lain merasa tak ada keadilan yang dilanggar, dan semuanya murni masalah hukum biasa. Disatu pihak merasa ekonomi rakyat sedang susah, dipihak yang lain merasa ekonomi sedang tumbuh, disatu pihak merasa impor menyengsarakan petani, dipihak lain merasa import untuk stabilkan harga. Gesekkan ditataran elit hingga akar rumputpun semakin tak terelakkan, ditambah media sosial pun turut berkontribusi memanaskan semuanya.


Hingga Pilpres 2019, efek Ketentuan Presidential Threshold terpaksa kembali pertemukan keduanya. Inilah masa dimana militansi para pendukung mulai terlatih, mental para simpatisan mulai terbentuk, emak emak pun hanyut terbawa suasana untuk ikut berjuang. Gerakan perlawanan semakin gencar di galakkan, hastag #2019gantipresiden didengungkan oposisi dan para militan dari kota-kota hingga kepelosok desa. Gerakan yang awalnya fokus pada kasus penistaan agama, kini ikut bermertamorfosis menjadi gerakan kebangkitan umat disemua lini, baik ekonomi juga politik yang di kenal dengan “Persaudaraan Alumni 212 (PA 212)”.

Ijtima’ Ulama 1; 2; dan 3, ikut mewarnai dinamika, yang turut andil memberi payung hukum serta doktrin bagi para militan untuk terus berjuang dijalan agama. Penulispun ikut merasa ada Ghirah (semangat) yang tiba tiba timbul menggetarkan hati takkala orasi orasi yang tersebar dimedia media. Tapi, kita harus mampu memfilter diri, agar hati ini tidak sembarang mengucap kata jihad dan perperangan. Tapi semangat ini adalah semangat menegakkan keadilan, kejujuran, dan kebenaran untuk bangsa ini lebih baik dimasa depan.

Selasa, 21 Mei 2019 pukul 01:46, KPU secara resmi menetapkan Jokowi-Amin sebagai pemenang Pilpres 2019, meskipun isu kecurangan Pilpres masih menjadi buah bibir di masyarakat. Puncaknya pada tragedi aksi massa 21-22 mei di jakarta yang banyak menelan korban. Kemarahan kaum militan pun semakin meluas.

Bangsa ini terpecah, terpecah dengan retakan retakan yang memprihatinkan.  Serasa tak pernah ada kecocokan diantara keduanya. Maka sudah saatnya lah para elit bertanggungjawab menyelesaikan kekisruhan ini semua.

Rekonsiliasi dan kekecewaan pendukung

Kita tak tahu, apa yang sedang difikirkan sang jenderal. mungkinkah jalan sunyi yang ia tempuh. Jalan perenungan menghirup ketenangan lalu memandang lebih jauh. Teringat korban-korban telah berjatuhan, tak sedikit nyawa yang kemudian hilang, banyak oposisi dibungkam jeruji. Tapi yang terpenting rakyat butuh makan tak butuh pertikaian. Rakyat butuh sejahtera, tak butuh rebut kursi kuasa.

Itulah mungkin yang ia fikirkan, dan stasiun lebak bulus MRT menjadi sejarah bahwa sang patriot tunjukkan sikap negarawan sejati walau sakit di hatinya masihlah belum pulih. Tapi demi persatuan Bangsa dan keutuhan NKRI ia berikan selamat sebarkan senyum dan jahit kembali merah putih.

“Kecewa” itulah kata yang kini ada dibenak para pendukung baik relawan maupun simpatisan #indonesiaadilmakmur Prabowo-Sandi. Mulai dari kalangan millenial hingga barisan militan “Partai Emak - Emak”. yang telah berjibaku siang dan malam disaat terik maupun hujan, berkumpul dari satu pertemuan kepertemuan lain, dari satu rumah kerumah yang lain. Yang semuanya itu dilalui guna turut berpartisipasi pada amanat konstitusi (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945) dalam kontestasi pesta demokrasi per lima tahun sekali ini.

Kecewa, karena dianggap Prabowo melupakan kecurangan pilpres yang terjadi, melupakan korban-korban yang telah berjatuhan pada proses penghitungan suara, hingga pasca tragedi 21-22 mei di Jakarta.

Tapi itulah prabowo, seorang patriot dan negarawan sejati. Prabowo tak pernah berkhianat, ia hanya sering dikhianati, Prabowo tak pernah meninggalkan, ia hanya sering ditinggalkan.

Kekecewaan itu wajar, namun andai engkau lebih memahami maka engkau akan sadari betapa sulit berada diposisinya.

Namun, siapapun kita, kehadiran kita harus bisa membatu bangsa ini untuk terus tumbuh dan maju kedepan. terlepas berada diposisi mana anda saat ini. karena kita semua bersaudara.

Hai Golongan Peng-Agung, dukung programnya, puji keberhasilannya, tapi jangan terlalu engkau agungkan, agar lidahmu tak keluh untuk mengingatkan saat ia tersesat jalan.
Hai golongan militan, ia tak perlu kau lawan sebab ia bukan musuhmu. kritiklah dengan niat membangun, nilailah ia secara objektif, agar lidahmu tak kaku mengakui keberhasilannya.

Salam damai sesama anak bangsa. (@ardi_armandanu)

Post a Comment

0 Comments