Facebook

header ads

Hukum Perikatan

Hukum Perikatan


A. Istilah & Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan berasal dari bahasa Belanda yaitu Verbintenis, KUH Perdata / BW (burgerlijk wetboek) tidak menjelaskan atau menguraikan tentang istilah ataupun pengertian tentang perikatan. Walaupun begitu, pengertian perikatan dapat kita peroleh dari pendapat beberapa pakar hukum. Berikut beberapa pendapat pakar hukum tentang perikatan:
1. Menurut Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian;
2. Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi;
3. Menurut Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim;
4. Menurut Prof. Subekti, Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu;
5. Menurut Abdulkadir Muhammad, Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan;
Dengan demikian, unsur-unsur dari perikatan adalah:
1. Adanya suatu hubungan hukum;
2. Diantara dua pihak, yaitu pihak yang memiliki kewajiban (Debitur), dan pihak yang memperoleh hak (Kreditur);
3. Berada dibidang Hukum Harta Kekayaan.

Hukum Perikatan (verbintenissen recht) adalah aturan yang mengatur hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan (vermogenrecht) antara dua orang atau lebih yang memberi hak (recht) pada salah satu pihak (schuldeiser=kreditur) dan memberi kewajiban (plicht) pada pihak yang lain (schuldenaar=debitur) atas sesuatu prestasi.
Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.
Hubungan hukum dalam perikatan tidak bisa timbul dengan sendirinya, melainkan harus didahului oleh adanya tindakan hukum (rech handeling) yang dilakukan pihak-pihak, sehingga menimbulkan hak di satu sisi dan kewajiban pada pihak lain.

B. Subjek Perikatan
Subjek perikatan adalah mereka yang memperoleh hak (schuldeiser=kreditur) dan mereka yang dibebani kewajiban (schuldenaar=debitur) atas suatu prestasi. Pada prinsipnya, semua orang, baik natuurlijke person maupun rechts person (badan hukum), dapat menjadi subjek perikatan.

C. Objek Perikatan
Objek perikatan (voorwerp der verbintenissen) adalah hak pada kreditur dan kewajiban pada debitur yang dinamakan prestasi. Prestasi tersebut berupa :
1. Tindakan memberikan sesuatu (misalnya penyerahan hak milik dalam jual beli, sewa menyewa, dll);
2. Melakukan suatu perbuatan (misalnya melaksanakan pekerjaan tertentu,dll);
3. Tidak berbuat sesuatu (misalnya tidak akan membangun suatu bangunan pada suatu bidang tanah tertentu, dll).

Dalam suatu perikatan pasti terdapat hak dan kewajiban, namun tidak semua hak dan kewajiban merupakan perikatan dalam arti hukum. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang diatur dan diakui hukum (dalam Buku II) yang berkaitan dengan lingkup hukum kekayaan (vermogenrecht). Hubungan hukum yang bersifat hukum keluarga (familierecht) seperti kewajiban suami isteri, tidak termasuk dalam perikatan (Dalam sebuah pertanyaan : apakah seorang suami yang tidak membayar nafkah isteri dapat disebut melakukan suatu perbuatan melawan hukum ?), secara yuridis tidak karena kewajiban suami isteri berada dalam lingkup Hukum familie recht (Buku I), sedangkan perbuatan melawan hukum berada dalam lingkup hukum perikatan (verbintenissen recht, Buku II).

Namun ada beberapa hubungan hukum dalam hukum keluarga yang mempunyai sifat hukum harta kekayaan, misalnya wasiat dan perjanjian pra nikah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan untuk menyepakati masalah harta bawaan sebelum mereka menikah, sehingga memungkinkan penerapan ketentuan umum hukum perikatan (verbintenissen recht).

Untuk menentukan apakah hubungan hukum itu masuk dalam hukum perikatan atau tidak, pada umumnya para sarjana menggunakan ukuran apakah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan sejumlah uang, yakni apakah kerugian yang diakibatkan wanprestasi atau akibat suatu perbuatan melawan hukum itu dapat diukur dengan sejumlah uang atau tidak (bernilai ekonomis atau tidak). Namun demikian dalam perikatan ada hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang dan hal ini dianggap sebagai suatu pengecualian.

D. Sumber Hukum Perikatan
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1233 KUHPerdata, bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. maka dapat disimpulkan bahwa Sumber hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata ada 2 (dua) yaitu:
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian);
2. Perikatan yang timbul karena perintah Undang-undang;

Pertama, Perikatan yang timbul karena persetujuan (perjanjian) terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Perjanjian yang dapat dipenuhi (prestasi); yaitu Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa: Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Perjanjian yang tidak dapat dipenuhi (wanprestasi); yaitu tidak dipenuhinya suatu kewajiban dalam perikatan, yang disebabkan kesalahannya dengan sengaja atau disebabkan oleh kelalaiannya ataupun karena keadaan memaksa (overmacht / force majeur). namun, untuk overmacht / force majeur dikecualikan dari kesalahan debitur.

Kedua, Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata : Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
1. Karena Undang-undang saja, adalah perikatan yang timbul oleh hubungan     kekeluargaan, yang terdapat pada Buku I KUHPerdata, seperti kewajiban alimentasi/pemeliharaan (biaya/tunjangan nafkah hidup seperti dimaksud Pasal 227 KUHPerdata atau biaya pemeliharaan dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai nafkah cerai) atau kewajiban seorang anak yang mampu untuk memberi nafkah kepada orang tuanya yang miskin, dan buren recht/hukum berketetanggaan, sesuai dengan Pasal 625 Buku II KUHPerdata, Pasal 227 KUHPerdata, Kewajiban memberi tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri. Pasal 625 KUHPerdata, Antara sesama pemilik-pemilik pekarangan yang satu dengan yang lain bertetanggaan, berlaku beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak pekarangan mereka karena alam, maupun yang berdasar atas ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Karena Perbuatan Manusia, yang dibagi dua yakni :
a. Perbuatan Menurut Hukum, misalnya perwakilan sukarela / zaakwarneming (suatu perbuatan, dimana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya untuk mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan risiko untuk orang lain tersebut, Pasal 1354 sampai Pasal 1358 KUHPerdata), dan
b. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) / onrechtmatige daad yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dalam Buku III, pada bagian Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang, yang berbunyi:Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

E. Asas-asas Hukum Perikatan
1. Asas Kebebasan Berkontrak. 
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Cara ini dikatakan sistem terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai Undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini, maka kepada para pihak diberikan kebebasan untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Memilih akan mengadakan / membuat perjanjian dengan pihak yang diinginkan;
c. Menentukan isi, pelaksanaan, dan persyaratan perjanjian;
d. Menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat, apakah dalam bentuk tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme. 
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak yang terlibat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1) Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia-sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut;
2) Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan;
3) Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak;
4) Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
3. Asas Pacta Sunt Servanda. 
Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di antara para pihak, mengikat selayaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang isinya Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Post a Comment

1 Comments