A. Awal Mula Hukum Pidana di Dunia
Hukum pidana, khususnya hukum pidana mati
menjadi fenomena sepanjang masa dalam sejarah hukum pidana di dunia. Sebenarnya
sejak kapan hukuman pidana mati itu diberlakukan dalam peradaban dunia? Namun
yang jelas, hukuman pidana mati itu resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum
tertulis, yaitu sejak adanya Undang-Undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad
ke-18 sebelum masehi. Saat itu ada 25 jenis pidana kejahatan yang diancam
hukuman mati.
Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan
hukum Romawi yang dituangkan dalam Corpus Iuris Civil berlaku hampir selama
seribu tahun atau dalam pertengahan abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian
hukum Romawi mengembankan dirinya meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di
seluruh Eropa. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi) hukum Romawi.
Mulai abad pertengahan banyak
mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar di Universitas-universitas
di Italia dan Perancis Selatan (dimana Italia merupakan pusat kebudayaan
Eropa). Dimana pada era itu yang dipelajari hanya hukum Romawi. Setelah mereka
tiba di tanah airnya masing-masing maka Hukum Romawi akan diterapkan apabila
hukumnya sendiri tak dapat menyelesaikan persoalan hukum mereka. Bahkan
kadangkala hukumnya sendiri sengaja tidak dipergunakan.
Adanya kepercayaan pada hukum alam yang
asasi, yang dianggap sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap
waktu (zaman) dan tempat, oleh karena itu mereka yang menerima hukum alam ini
dapat melepaskan dirinya dari hukum Romawi yang telah dipelajari di negara
Italia dan Perancis Selatan, maka biasanya mereka menyamakan hukum alam itu
hukum Romawi.
Salah satu negara di Eropa yang meresepsi
hukum Romawi adalah Perancis. Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya Perancis
pernah ditaklukan oleh Caesar, kira-kira 50 tahun sebelum Masehi. Kemudian
dalam abad ke-5 sesudah Masehi, timbullah perubahan dimana bangsa Germania
memasuki Gallia. Mula-mula bangsa Wetsgota yang menduduki barat daya Gallia.
Dibawah pimpinan raja Eurich mereka
memperluas daerah mereka sampai Provence dan Auvergene dan sebagaian besar dari
Spanyol. Setelah bangsa Westgota kemudian datang bangsa Bourgundi yang
menduduki kini dikenal dengan Savoye, dan dari sana memperluas kerajaan mereka
kearah selatan.
Kemudian bangsa Salis Franka dibawah Clovis
mengalahkan daerah sebelah utara sungai Loire dan dibawah para penggantinya,
mengalahkan juga daerah bangsa Bourgundi dan Westgota (kecuali Languedoc) yang
dimasukkan ke dalam daerah kerajaan Perancis.
Kaisar Napoleon pada tanggal 12 Agustus
1800 membentuk suatu panitia yaitu Portalis, Trochet, Bigot de Preameneu dan
Malleville yang ditugaskan untuk membuat rancangan kodifikasi. Sumber bahan
kodifikasi adalah hukum Romawi menurut Peradilan Perancis dan menurut tafsiran
yang dibuat oleh Potier dan Domat, hukum kebiasaan daerah Paris (Coutame de
Paris), peraturan perundangan yang disebut ordonansi dan hukum yang dibuat pada
waktu Revolusi Perancis (hukum Intermedier atau hukum sementara waktu). Hasil
kodifikasi ini kemudian diumumkan pada tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun 1807
diundangkan menjadi ”Code Napoleon”.
Pada abad ke XVIII ada dua peristiwa yang
menggemparkan, yang mempunyai pengaruh besar terhadap opni publik yaitu
mengenai pedagang JEAN CALAS (1762) di
Toulouse dijatuhi hukuman mati. VOLTAIRE telah menggugatnya dan meminta supaya
diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, dimana
dinyatakan bahwa JEAN CALAS tidak bersalah dan putusan yang pertama dibatalkan;
tetapi nyawa JEAN CALAS sudah tidak ada lagi;
Peristiwa kedua yang terjadi pada waktu
1764, adalah tulisan BECCARIA “Dei delitti e delle pene” yang memprotes
pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar peri kemanusiaan dan kejamnya
hukuman-hukuman. Kedua peristiwa itu, di samping memberikan anjuran pemakai
akal budi pada zaman RENAISSANCE (Aufklarung), sangat banyak pengaruhnya
terhadap pembaharuan hukum pidana.
Pada tahun 1791 setelah Revolusi Perancis
terbentuk CODE PENAL yang pertama yang dalam banyak hal dipengaruhi oleh jalan
pikirannya BECCARIA. Pada tahun 1810 dalam pemerintah NAPOLEON yang berlaku
hingga saat ini, Code Penal tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari
seorang utilist Inggris yang bernama BENTHAM. Hukum Pidana ini dalam banyak hal
masih ditujukan untuk menakut-nakuti, terutama terlihat dari ancaman pidananya.
Di Belanda mulai ada gerakan untuk membuat
perundang-undangan hukum pidana pada tahun 1795, baru tahun 1809 terwujud :
CRIMINEEL WETBOEK VOOR HET KONINGKRIJK HOLLAND dalam pemerintahan LODEWIJK
NAPOLEON, yang merupakan kodifikasi umum yang pertama yang bersifat Nasional.
Penjajahan Perancis tahun 1811, yang
memberlakukan Code Penal Perancis sebagai penggantinya sampai tahun 1886. Pada
masa ini C.P. tersebut banyak mengalamai perobahan-perobahan terutama mengenai
ancaman pidananya yang kejam menjadi diperlunak. Pidana penyiksaan dan pidana
“cap-bakar” ditiadakan. Salah satu peristiwa penting yang terjadi ketika itu
ialah penghapusan pidana mati (dengan Undang-Undang 17 September 1870 stb. No.
162) dalam Wvs, sedang di WvMS jika terjadi pada waktu damai dan tidak
dilakukan kepada musuh. Pada tahun 1881 hukum pidana nasional Belanda terwujud
dan yang mulai berlaku pada tahun 1886, yang bernama “WETBOEK VAN STRAFRECHT” sebagai
pengganti Code Penal warisan dari Napoleon
B. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia
Membicarakan sejarah hukum pidana tidak
akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami perjalanan
sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali
periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung
mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini, khususnya hukum pidana.
Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam
tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar
munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial
yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hukum pidana menurut van hammel adalah
“semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam
menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan
dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar peraturan
tersebut”. Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum
hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan pada wilayah tertentu.
Sejarah hukum punya pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya
dan pranata hukum.
Hukum Eropa Continental merupakan suatu tatanan
hukum yang merupakan perpaduan antara hukum Germania dan hukum yang berasala
dari hukum Romawi “Romana Germana”. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan
letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Secara umum sejarah hukum
pidana di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yakni:
1. Masa Kerajaan Nusantara
Pada masa kerajaan nusantara banyak
kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang
dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli
hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah
tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok
maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum
pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip
kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa
ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam
masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum
mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang
berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun
menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja
niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab
adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga
menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat
nusantara.
Hukum pidana pada periode ini banyak
dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan
dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan
penyerapan dari konsep pidana islam serta konsep pembuktian yang harus lebih
dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam islam mempengaruhi praktik
hukum pidana tradisional pada masa itu.
2. Masa Penjajahan
Pada masa periodisasi ini sangatlah
panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak
pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah
abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan
dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian
pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.
Pola pikir hukum barat yang sekuler dan
realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini
perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala
peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan
peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh
pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia).
Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni
KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun
1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun
1873.
3. Masa KUHP 1915 – Sekarang
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP
Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap
diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang
berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum
pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan
merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku
saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda).
Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan
perundang-undangan .
KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri
merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi
pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda
berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan
kekaisaran perancis.
Desakan pembentukan segera KUHP nasional
sebagai sebuah Negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku
di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku
di Negara penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem
hukum continental menurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang
berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum
pidana (straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh
penjajah.
Pada tahun 1965 LPHN (lembaga pembinaan
hukum nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum
pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang yang selalu
tertinggal dari realitas social menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP.
KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial yang
diterapkan di Negara jajahan untukmenciptakan ketaatan. Indonesia yang kini
menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan
pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.
C. Usaha Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di
Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
- pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang sekarang berlaku, dan
- menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial.
Usaha pembaharuan hukum pidana (KUHP)
didasarkan pada alasan-alasan baik politik, sosiologis maupun praktis, serta
alasan adaptif bahwa KUHP Nasional nanti dapat menyesuaikan diri dengan
kecenderungan-kecenderungan Internasional yang diakui oleh masyarakat beradab.
Usaha pembaharuan hukum pidana melalui
penyusunan R-KUHP sudah dimulai sejak tahun 1958 dengan terbentuknya Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang kemudian diubah menjadi Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN). Saat ini telah berhasil disusun RUU-KUHP tahun
1999-2000, dimana di samping tetap memandang asas Legalitas sebagai asas yang
fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, juga
mengakui adanya hukum adat yang memang untuk daerah-daerah tertentu masih hidup
dalam masyarakat. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) RUU-KUHP tahun
1999/2000, serta Pasal 62 ayat (1) e berupa sanksi pemenuhan kewajiban adat.
Di Pulau Bali sampai saat ini masih
terdapat tindak pidana adat yang sebagian besar diselesaikan di luar
pengadilan, yaitu melalui Prajuru Desa Adat. Penyelesaian melalui Pengadilan
Negeri kepada pelaku hanya dijatuhi pidana seperti dalam Pasal 1O KUHP. Hal ini
membuat masyarakat adat merasa tidak puas, sehingga kepada pelaku oleh
masyarakat adat juga dijatuhi sanksi adat. Oengan demikian ada penjatuhan
pidana ganda dalam penyelesaian tindak pidana adat.
Untuk menghindari penjatuhan pidana ganda
(pidana menurut KUHP dan sanksi adat), maka terhadap tindak pidana adat yang
telah dijatuhi sanksi adat oleh Pimpinan Adat dan yang bersalah telah
melaksanakannya, apabila tindak pidana adat tersebut diajukan ke muka
pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut
harus dinyatakan tidak diterima.Dengan masih ditaati dan dihormatinya hukum
adat untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia maka sangat relevan untuk
mengangkat ke permukaan hukum pidana adat berserta sanksi adatnya sebagai bahan
penyusunan KUHP Nasional.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal
sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan mencabut, menambahkan, atau
menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP maupun aturan-aturan hukum pidana di luar
KUHP dengan beberapa peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kondisi
bangsa dan perkembangan jaman. Pembaharuan hukum pidana materiel dengan model
parsial ini telah dilakukan sejak awal Indonesia merdeka dengan disahkannya UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagai “akta kelahiran”
KUHP.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang
mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain
sebagai berikut.
1). UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana
Dalam undang-undang ini diatur beberapa hal
terkait dengan usaha pembaharuan hukum pidana, antara lain:
a). Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie”
dalam peraturan hukum pidana menjadi “Indonesia”.
b). Mengubah nama Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht sebagai hukum pidana
Indonesia dan bisa disebut KUHP.
c). Perubahan beberapa pasal dalam KUHP
agar sesuai dengan kondisi bangsa yang merdeka dan tata pemerintahan yang
berdaulat.
d). Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan
uang dan kabar bohong.
2). UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan
Dalam undang-undang ini ditambahkan jenis
pidana pokok baru berupa pidana tutupan ke dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan
Pasal 6 huruf a KUHP Tentara.
3). UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang
Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi
Dengan undang-undang ini KUHP ditambahkan
satu pasal, yaitu Pasal 512a tentang kejahatan praktek dokter tanpa izin.
4). UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana
Dalam undang-undang ini diatur antara lain
sebagai berikut:
Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk
seluruh wilayah Republik Indonesia.
Penambahan beberapa pasal dalam KUHP,
yaitu;
(1).Pasal 52 a tentang pemberatan pidana
(ditambah 1/3) jika pada saat melakukan kejahatan menggunakan bendera
kebangsaan Republik Indonesia.
(2).Pasal 142 a tentang kejahatan menodai
bendera kebangsaan negara sahabat.
(3).154 a tentang kejahatan menodai bendera
kebangsaan dan lambang negara Republik Indonesia.
5).
UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP.
Dengan undang-undang ini ancaman pidana
pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu:
a). Pasal 359 tentang tindak pidana
penghilangan nyawa karena kealpaan dipidana lebih berat dari pidana penjara
maksimal 1 tahun atau pidana kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara
maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
b) Pasal 360 tentang tindak pidana karena
kesalahan menyebabkan luka berat, sehingga menyebabkan orang sakit sementara
atau tidak dapat menjalankan profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan
penjara atau kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-, dipisah
menjadi dua ayat yaitu:
(1).Pasal 360 ayat (1) tentang tindak
pidana perlukaan berat
karena kealpaan dipidana lebih berat
menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
(2).Pasal 360 ayat (2) tentang tindak
pidana perlukaan karena kealpaan sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit
sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi
pidana penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau
pidana denda maksimal Rp. 300,-.
c). Pasal 188 tentang tindak pidana
kebakaran, peletusan, atau banjir yang membahayakan umum atau menyebabkan
matinya orang lain karena kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara
maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda
maksimal Rp. 300,-.
6). UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang
Beberapa Perubahan dalam KUHP.
Dengan undang-undang ini, kata “vijf en
twintig gulden” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi
Rp. 250,- (1).
7). UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang
Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana
lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan undang-undang ini maka hukuman denda
yang ada dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana yang dikeluarkan sebelum 17
Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas
kali.
8). UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Dengan undang-undang ini, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu Pasal 156a yang
berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
9). UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Penerbitan Perjudian.
Dengan undang-undang ini diatur beberapa
perubahan beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana
perjudian, yaitu:
a).Semua tindak pidana perjudian dianggap
sebagai kejahatan.
Dengan ketentuan ini, maka Pasal 542
tentang tindak pidana pelanggaran perjudian yang diatur dalam Buku III tentang
Pelanggaran dimasukkan dalam Buku II tentang Kejahatan dan ditempatkan dalam
Buku II setelah Pasal 303 dengan sebutan Pasal 303 bis.
b). Memperberat ancaman pidana bagi pelaku
bandar perjudian dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP dari pidana penjara maksimal 2
tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana penjara maksimal
10 tahun dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi
jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp.
25.000.000,-) sanksi pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara atau
denda) menjadi bersifat kumulatif (penjara dan denda).
c). Memperberat ancaman pidana dalam Pasal
542 ayat (1) tentang perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 1 bulan
atau denda maksimal Rp. 4.500,-
penjara maksimal 4 tahun atau denda
maksimal Rp. 10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1).
d). Memperberat ancaman pidana dalam Pasal
542 ayat (2) tentang residive perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan
maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara
maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian
menjadi Pasal 303 bis ayat (2).
10). UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang
Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan
Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
a). Memperluas ketentuan berlakunya hukum
pidana menurut tempat yang diatur dalam Pasal 3 dan 4 KUHP menjadi berbunyi:
Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana di dalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia.
Pasal 4
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam
Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447
tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479
hutrf j tentang penguasaan pesawat
udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf
l, m, n, o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
b). Menambah Pasal 95a tentang arti pesawat
udara Indonesia, 95b tentang arti penerbangan, dan 95c tentang arti dalam
dinas.
c). Setelah Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan
Pelayaran ditambahkan bab baru yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan
dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam bab baru ini
terdapat 28 pasal baru yaitu Pasal 479a-479r.
11). UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal
baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f.
Pelaksanaan pidana mati yang menurut Pasal
11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor
2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan
Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan
cara ditembak.
Di samping adanya beberapa
perundang-undangan yang merubah KUHP di atas, terdapat juga beberapa
perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana. Di antaranya
adalah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana
korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan UU
Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001), tindak
pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana
psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan
hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian uang
(diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan
UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.
0 Comments