Indonesia merupakan negara
penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dengan luas areal lebih dari 7,5 juta
hektar dengan sumber pendapatan dan lapangan kerja ± 4 juta kk terserap
di on farm kelapa sawit. Kelapa sawit juga merupakan sumber
devisa dan pendapatan negara, pendapatan ekspor non migas (nilai ekspor minyak
sawit lebih besar dari nilai ekspor hasil pertanian lainnya) devisa ekspor US
13,5 milyar di tahun 2009. Manfaat pembangunan kelapa sawit yang lain terkait
dengan pengembangan wilayah/penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan,
minyak goreng, bahan baku energi (biofuel), mendorong pembangunan
industri di dalam negeri serta penghasil minyak nabati paling efisien. Minyak
kelapa sawit adalah salah satu minyak nabati dunia yang paling efisien
dibandingkan minyak kedelai, bunga matahari, rapeseed, minyak
kelapa, dll.
Dalam 5 tahun terakhir,
terjadi pergeseran pasar minyak nabati dunia, dari sebelumnya didominasi
konsumsi minyak kedelei yang diproduksi di negara maju (Eropa) menjadi minyak
sawit yang diproduksi di negara berkembang (Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Nigeria,
Ghana dll). Dari sisi suplai, pasokan produksi Indonesia menjadi yang terbesar
(44%) menggeser pasokan Malaysia (41%) untuk konsumsi minyak sawit dunia. Harga
minyak mentah (crude oil) yang naik di luar perkiraan juga membuat
minyak sawit selalu menjadi pembicaraan sebagai substitusi dalam bentuk
biofuel.
Disamping itu, ada beberapa
isu negatif yang terkait dengan perkelapasawitan di Indonesia antara lain
minyak kelapa sawit sebagai minyak yang tidak sehat, penyebab rusaknya
lingkungan, hutan, terjadinya deforestrasi, kekeringan, terpinggirkannya indegeneous
people, menurunnya/matinya satwa yang dilindungi, menyebabkan
pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim, CO2 emission dan masih banyak isu negatif
lainnya. Menanggapi berbagai isu dan permasalahan perkebunan kelapa sawit maka
pemerintah Indonesia memandang perlu disusunya sebuah pedoman Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) menjawab tuntutan untuk
memproduksi minyak sawit berkelanjutan yang datang dari konsumen, industri,
pembeli dan stakeholder perkelapasawitan lainnya. Pembangunan
perkebunan kelapa sawit merupakan pembangunan lintas sektor, sehingga harus
tunduk dan patuh pada seluruh ketentuan/perundangan seluruh instansi terkait
yang berlaku, tidak hanya dibidang pertanian/perkebunan saja.
Dalam hal terbitnya pedoman
ISPO, Menteri Pertanian menyatakan sebagai amanat konstitusi UUD pasal 33 ayat
4, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Secara garis besar, pedoman ISPO didasarkan pada 4
hal, yaitu kepatuhan hukum, kelayakan usaha, pengelolaan lingkungan dan
hubungan sosial yang dirumuskan dalam tujuh prinsip yang dirinci ke dalam
27 kriteria dan 117 indikator yang lengkapnya dapat dilihat pada
Permentan No 19/2011.
Sistem Sertifikasi ISPO :
1. 1. Penilaian
Usaha Perkebunan sebagai prasyarat
Setiap perusahaan yang
melakukan usaha perkebunan di Indonesia wajib memiliki izin usaha baik berupa
IUP, IUP-B dan atau IUP-P, ITUP dan SPUP. Bagi perusahaan yang telam mempuyai
izin, baik pada tahap pembangunan maupun tahap operasional secara rutin akan
dilakukan penilaian dan pembinaan usaha perkebunan. Penilaian ini dimaksudkan
untuk menjaga kesinambungan dan kelangsungan usaha perkebunan dan kelangsungan
usaha perkebunan serta memantau sejauh mana penerima izin telah melakukan dan
mematuhi kewajibannya. Bagi pelaku usaha perkebunan tahap pembangunan,
penilaian dilakukan oleh provinsi/kabupaten 1 (satu) tahun sekali sedangkan
usaha perkebunan tahap oprerasional, penilaian dilakukan setiap 3 tahun sekali
sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2009
tentang pedoman penilaian usaha perkebunan. Penilaian usaha perkebunan
dilakukan oleh petugas penilai yang merupakan petugas (PNS) Dinas yang
membidangi Perkebunan yang telah dilatih dan mendapatkan sertifikat sebagai
penilain dari Lembaga Pendidikan Perkebunan. Petugas Penilai bertanggungjawab
secara teknis dan yuridis terhadap hasil penilaiannya. Aspek yang dinilai
meliputi legalitas, menajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi
wilayah, lingkungan serta pelaporan. Hasil penilaian tersebut berupa penilaian
kelas kebun bagi kebun operasional, yaitu kebun kelas I (baik sekali), kelas II
(baik), kelas III (sedang), kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sekali).
Kebun dengan hasil
penilaian kelas I, II dan III dapat mengajukan permohonan untuk dilakukan audit
agar dapat diterbitkan sertifikasi ISPO. Sedangkan bagi kebun yang tergolong
kelas IV diberikan peringatan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 4 bulan dan
kebun kelas V diberikan peringatan sebanyak 1 kali dalam selang waktu 6 bulan.
Apabila dalam jangka waktu peringatan tersebut perusahaan perkebunan yang
bersangkutan belum dapat melaksananakan perbaikan dan saran tindak lanjut, maka
izin usaha perkebunannya dicabut.
1. 2. Persyaratan Sertifikasi
Persyaratan untuk
mendapatkan sertifikasi ISPO meliputi kepatuhan aspek hukum, ekonomi,
lingkungan, dan sosial sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang
berlaku serta sanksi bagi mereka yang melanggar. Ketentuan ini merupakan
serangkain persyaratan yang terdiri dari prinsip dan kriteria dan panduan yang
dipersyaratkan untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dan
pabrik kelapa sawit. Prinsip dan Kriteria ISPO Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan adalah :
- Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan;
- Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit;
- Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan;
- Tanggungjawab Terhadap Pekerja;
- Tanggungjawab Sosial dan Komunitas;
- Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat;
- Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.
Dibanyak perkebunan negara
dan swasta besar, pemenuhan terhadap prinsip tersebut sudah relatif memadai
kecuali dalam beberapa kriteria, yaitu mekanisme penanganan sengketa
lahan dan kompensasi, mekanisme pemberian informasi, pelestarian keanekaragaman
hayati (biodiversity), identifikasi kawasan yang mempunyai nilai
konservasi tinggi (NKT), mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan realisasi
tanggung jawab sosial perusahaan. Sedang untuk prinsip-prinsip lainnya hanya
perlu perbaikan dokumentasi agar pemenuhan buktinya dapat ditunjukkan dan
konsisten.
1. 3. Pelaku
Usaha yang dinilai:
Unit yang disertifikasi
adalah kebun pemasok dan pabrik kelapa sawit (PKS) terutama kebun milik
sendiri, bila PKS mendapat pasokan dari plasma yang berada dalam satu manajemen,
TBS yang dihasilkan harus memenuhi kriteria ISPO dengan pengawasan sepenuhnya
dari kebun inti sesui lamanya waktu yang ditoleransi oleh komisi ISPO. Untuk
menndapatkan sertifikat ISPO kebun inti, plasma dan swadaya harus tidak
bermasalah dengan kepemilikan tanah/kebun seperti : IUP, IUP-B, IUP-P, HGU dan
memnuhi seluruh ketentuan/persyaratan ISPO.
Pelaksanaan audit ISPO
dilakukan oleh auditor dari lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh
KAN dan mendapat pengakuan dari komisi ISPO. Auditor yang dapat melakukan audit
harus mendapat sertifikat pelatihan auditor ISPO dari komisi ISPO.
Mekanisme
Sertifikasi ISPO
Persiapan sebelum
mengajukan sertifikasi ISPO, perlu melakukan pembenahan di internal perusahaan.
Langkah-langkah yang dapat digunakan adalah: Pertama) melakukan pelatihan
pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa staf yang dipersiapkan
sebagai tim internal; Kedua) para personal yang terlatih melakukan analisa
kesenjangan (Gap Analysis) untuk menguji tingkat pemenuhan
perusahaan terhadap ISPO pada tahap awal; Ketiga) perusahaan melakukan
perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan. Keempat), setelah perbaikan
dianggap sudah memenuhi, perusahaan mengajukan sertifikasi kepada badan sertifikasi
sesuai pilihannya. Ruang lingkup yang disertifikasi adalah kebun sendiri dan
pabrik kelapa sawit (PKS), perusahaan berkewajiban mensosialisasikan ISPO
kepada para pemasok TBS dari perkebunan lain jika menerima TBS selain kebun
sendiri. Masa sertifikat ISPO berlaku selama 5 tahun sebelum dilakukan
penilaian ulang (re-assesment) dan sekali dalam setahun dilakukan audit
pengawasan (survailance).
Akhirnya, yang menjadi kunci utama suksesnya implementasi ISPO ini
adalah komitmen pemilik/top manajemen perkebunan. Strategi tersebut di atas
hanya bisa berjalan efektif jika pemilik/top manajemen mempunyai komitmen
penuh untuk memenuhi ISPO. Maka ke depan kita dengan bangga
mengatakan kepada dunia bahwa semua minyak sawit Indonesia adalah minyak sawit lestari,
perkebunan minyak sawit yang dikelola dengan mematuhi hukum, melaksanakan
praktek perkebunan terbaik serta memperhatikan lingkungan dan sosial.
0 Comments