ardiarmandanu.com - Seringsekali di
masyarakat kita mendengar istilah MoU dan Perjanjian Kerjasama (PKS),
sebenarnya apa beda antara MoU dan PKS, dan bagaimana kekuatan hukum mengikat
dari masing-masing ?
MoU
(memorandum of Understanding) menurut pengertian beberapa ahli hukum antara
lain:
Menurut Munir
Fuady Memorandum Of Understanding adalah
“Perjanjian Pendahuluan dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam
perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, memorandum of
understanding berisikan hal-hal yang pokok saja.”
Selanjutnya, menurut Erman Rajagukguk Memorandum Of Understanding adalah
“Dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian
dibuat. Isi dari memorandum of understanding harus dimasukkan ke dalam kontrak,
sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat.”
Berdasarkan
kedua definisi di atas ada beberapa unsur yang dapat kita simpulkan dari MoU
yaitu:
1.
Perjanjian
pendahuluan;
2.
Berisikan
hal-hal pokok;
3.
Memuat
saling pengertian sebelum perjanjian;
4.
Isinya
harus dimasukkan dalam kontrak.
Umumnya,
jangka waktu yang ditetapkan dalam MoU ini sifatnya sementara karena memang
merupakan bagian dari proses sebelum terjadinya suatu kontrak. MoU ini dibuat
sebab para pihak masih memiliki sedikit keraguan yang perlu dipastikan terlebih
dahulu sebelum kontrak benar-benar dibuat.
Selanjutnya, berkaitan
dengan sifat mengikat darai MoU ini. Dari sisi hukum Indonesia masih terdapat
perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa MoU undercovercoid hanya
merupakan suatu gentle aggreement yang tidak mempunyai akibat
hukum, sedangkan yang lainya berpendapat bahwa MoU merupakan bukti awal telah
terjadinya saling pengertian mengenai masalah-masalah pokok yang diatur
didalamnya.
Sederhananya,
ada yang berpendapat secara ekstrem bahwa MoU hanya mengikat secara moral saja.
Artinya pihak yang melakukan wanprestasi terhadap MoU tidak dapat dituntut di
Pengadilan, melainkan hanya terkena hukum moral berupa prestasinya yang jatuh
dikalangan para pebisnis.
Sedangkan
pendapat kedua, apapun bentuk perjanjian selama itu adalah perjanjian sekalipun
memuat pokok-pokoknya saja, maka ia mengikat secara hukum sebagaimana
perjanjian.
Selanjutnya, berkaitan dengan Perjanjian
Kerjasama kita bisa melihat definisinya berdasarkan Pasal 1313 BW yang mendefinisikan
perjanjian sebagai suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain.
Berkaitan
dengan kekuatan mengikatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1338 BW yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun,
sebelum itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 BW bahwa perjanjian dapat
mengikat sebagai undang-undang apabila memenuhi unsur-unsur berikut:
1.
Adanya kesepakatan kedua
belah pihak
Sepakatan
artinya adalah bahwa para pihak secara sukarela tanpa ada unsur paksaan,
penipuan dan sejenisnya, menyatakan kehendaknya bahwa mereka saling sepakatan
untuk mengikatkan diri dalam perjanjian.
2.
Cakap Hukum
Pasal
1446 BW menyatakan bahwa dalam hal suatu perjanjian dibuat oleh orang yang
tidak cakap sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian dianggap batal demi
hukum.
Yang
dimaksud cakap dalam hal ini adalah sebagaimana ketentuan Pasal 1330 BW bahwa
orang yang belum dewasa dianggap sebagai orang yang belum cakap hukum, lebih
detailnya dalam Pasal 330 BW mengkategorikan bahwa orang yang belum berumur 21
Tahun dianggap belum dewasa.
Akan
tetapi, menurut Pasal 7 UU. No 7 Tahun 1994 tentang perkawinan dinyatakan
bahwa kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun,
sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun. Kategori
tidak cakap selanjutnya adalah mereka yang berada dibawah pengampuan.
3.
Suatu Hal tertentu
Maksud
dari suatu hal tertentu ini adalah bahwa harus ada objek yang diperjanjikan.
Jika merujuk pada pasal 1332 BW menjelaskan bahwa hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian, selanjutnya
pasal 1334 menambahkan bahwa barang-barang yang baru ada di kemudian hari dapat
dijadikan objek perjanjian kecuali dilarang secara tegas oleh undang-undang.
4.
Sebab-Sebab
Causa yang halal
Pasal
1335 KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab
yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum. Perjanjian tanpa causa halal ini dianggap batal demi
hukum.
Bila,
perjanjian kerjasama (PKS) telah memuat unsur-unsur tersebut maka perjanjian
tersebut mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang melakukan
perjanjian.
Ada
beberapa pendapat yang menyatakan bahwa jika suatu MoU telah memiliki
unsur-unsur layaknya Perjanjian Kerjasama, maka MoU tersebut dapat dianggap
sebagai perjanjian yang mengikat kedua belah pihak dan dapat berlaku sebagai
undang-undang.
Hal ini senada dengan
Yuridprudensi Mahkamam Agug No. 1681 K/Pdt/2011 yang merupakan kasus
pelanggaran memorandum of understanding antar H. Maming Daeng
Tata dengan Darma Setiawan bin H. Soekardi. Dalam hal ini Mahkamah Agung
memutuskan bahwa MoU memiliki kedudukan yang sama dengan perjanjian karena
syarat-syarat sah perjanjian telah terpenuhi dalam Mou tersebut.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa, jika terkait MoU maka yang harus kita lihat adalah
isi-isi pokok dalam MoU tersebut. Jika isinya telah memenuhi syarat sah
perjanjian, maka itu berlaku sebagai perjanjian yang sah walaupun namanya
adalah MoU. Jika tidak mencangkup, maka berlaku hukum bahwa MoU tersebut hanya
sekedar gentel aggreement saja.
ardiarmandanu.com
0 Comments